Kecantikan, merupakan sebuah kata yang sangat diidam-idamkan oleh kaum perempuan. Dahulu, Cleopatra, Sang Ratu Mesir begitu diagungkan dan menjadi simbol kecantikan di zamannya. Maka orang berlomba-lomba meniru gaya Cleopatra.

Di era Eropa modern, demi mendapatkan pinggang yang terlihat kecil dan ramping, para wanita rela bersakit-sakit menggunakan korset yang sangat ketat. Begitu pula yang terjadi di China dan Jepang, sejak kecil kaum Hawa dipaksa memakai sepatu berukuran kecil hingga sampai harus berjalan jinjit, hanya karena adanya persepsi bahwa wanita yang cantik dan terkesan bangsawan adalah wanita dengan kaki kecil mungil.

Siapa yang tidak ingin tampil cantik? Semua wanita pasti menginginkan tampil cantik sempurna meski dengan alasan berbeda-beda. Contohnya, orang yang memiliki wajah cantik akan mendapat berbagai macam kemudahan dalam hal mencari teman, pacar, suami idaman, dan juga pekerjaan. Kecantikan yang dieksploitasi juga menjadi sumber masalah. Banyak perusahaan yang hanya menerima karyawati dengan persyaratan fisik sebagai syarat utama. Tujuannya agar wanita-wanita tersebut dapat menarik banyak konsumen. Hal ini membuat wanita dengan kekurangan fisik akan merasa minder dan berusaha menjadi cantik walaupun dengan jalan pintas.

Arus globalisasi dan keterbukaan informasi, agaknya makin menguatkan budaya konsumtifisme hanya demi tujuan utama, tampil cantik dan menawan. Jika dulu, seseorang sudah merasa cantik ketika membersihkan diri dengan baik, belakangan hal itu dianggap tidak cukup. Bahkan konsep inner beauty, dianggap sebagai faktor pendukung belaka. Yang utama tetap penampilan prima.

Penyebaran arus informasi telah mengonstruksi masyarakat agar meyakini bahwa seseorang dikatakan cantik apabila memiliki bentuk tubuh yang langsing, kulit putih langsat, hidung mancung, bibir seksi, dan bentuk wajah cerah merekah sempurna. Demi mendapat itu semua, tidak sedikit kaum Hawa berusaha menggunakan produk pemoles, mulai dari memakai pemutih wajah, mengonsumsi obat pelangsing, memanfaatkan jasa salon dan dokter kecantikan, bahkan memilih jalan pintas walaupun menyakitkan yaitu melalui operasi plastik.

Namun, tahukah Anda bahwa persepsi cantik sejatinya dibentuk oleh industri kecantikan? Alasannya jelas, agar produk mereka laku di pasaran. Lihatlah iklan kosmetik, betapa mereka secara masif mengeksploitasi bintang iklan melalui kecantikan, langsing, putih dan seksi. Bagi masyarakat Indonesia, cantik identik dengan kulit putih, berambut lurus, tinggi dan berbadan seksi. Kemudian bisa ditebak, produk-produk pemutih bertebaran di pasar. Ironisnya, konsumen acap mengabaikan keamanan produk kecantikan. Padahal jika produk tersebut mengandung mercuri atau zat-zat berbahaya lainnya, akan menyebabkan efek samping bagi kulit mereka.

Melihat fenomena ini, siapa sebenarnya pihak yang paling diuntungkan. Jawabannya tentu saja bukan para wanita yang depresi untuk menjadi cantik hingga menjalankan operasi plastik. Karena kecantikan yang didapatnya tidak sebanding dengan pengorbanan fisik yang harus diterima saat melakukan operasi. Belum lagi sifat adiksi dari operasi yang membuat para pelakunya harus berulang kali datang untuk mendapatkan hasil terbaik. Kerugian materi juga pasti tidak kalah banyak.

Konstruksi kecantikan yang sengaja dibentuk, sangat menguntungkan pihak industri kecantikan dan praktisi bedah plastik. Karena semakin banyak wanita yang depresi terhadap bentuk tubuhnya maka akan mendatangkan keuntungan bagi pihak-pihak bersangkutan. Wanita yang mengejar kecantikan instan, sejatinya hanya menjadi korban konstruksi kecantikan yang dibuat oleh pihak-pihak berkepentingan.

Walaupun wabah ini telah menjamur sampai ke Indonesia, namun mempertahankan originalitas dan tetap bersyukur dengan apa yang telah diberikan Tuhan kepadanya, agar tidak menjadi korban kapitalisme berikutnya. Menjaga dan merawat kecantikan itu perlu tapi tidak harus mengubah bentuk yang telah ada. Syukuri apa yang ada itu lebih baik.

Istiana S Sudardjat – Staff YLKI

(Dimuat di majalah Warta Konsumen)