Selain mempromosikan produk barang/jasa kepada konsumen atau calon konsumen, sebenarnya tanggungjawab pelaku usaha (produsen) adalah mendidik konsumennya (consumers education). Hal ini dilakukan, selain agar konsumen mengerti menggunakan produk secara tepat, juga agar konsumen lebih aware terhadap hak dan kewajibannya. Singkat kata, menjadi konsumen yang lebih berdaya! Setidaknya, inilah yang diamanatkan oleh Pasal 4 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Namun, alih-alih melakukan hal yang ideal bagi konsumen, operator telepon seluler justru diduga melakukan hal yang sebaliknya: “mengganyang” pulsa konsumen! Proses “penggayangan” itu tidak dilakukan sendirian, tetapi bersinergi dengan mitra bisnisnya, yakni content provider.  Perlahan tetapi pasti, pulsa milik konsumen terkuras habis, oleh karena dianggap ikut suatu layanan yang disediakan oleh operator seluler-content provider. Bahkan, tak jarang pulsa konsumen terkikis dalam hitungan hari. Lebih dramatik lagi, ketika operator seluler-content provider menggunakan modus “negative option”; yaitu konsumen dianggap menyetujui isi layanan pesan pendek (sms), jika konsumen tidak merespon sms yang dikirimkan oleh kedua provider tersebut!

Apakah ini modus baru? Sejatinya bukan, karena, tiga tahun belakangan ini, bidang pengaduan YLKI kebanjiran pengaduan serupa. Bahkan, pada 2010, dari 501 pengaduan yang diterima YLKI, yang 101-nya adalah pengaduan telekomunikasi, yakni masalah penyedotan pulsa. Jumlah ini merupakan presentase tertinggi dari pengaduan lain di YLKI. Sebagai lembaga yang concern dengan perlindungan konsumen, YLKI tidak berpangku tangan. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menyelesaikan kasus ini; baik secara kasus per kasus, maupun via forum dialog yang melibatkan semua pihak: konsumen, operator seluler, perusahaan content provider. Dan tentu saja Pemerintah dan BRTI (Badan Regulator Telekomunikasi Indonesia) sebagai regulator. Namun, fakta berbicara lain, kasus demi kasus terus terjadi, dan bahkan makin mewabah! Kerugian yang dialami konsumen pun bukan lagi kelas recehan, tetapi sudah mendulang ratusan milyar. Konon tak kurang dari Rp 100 milyar uang (pulsa) konsumen dikeruk oleh operator seluler dan perusahaan content provider tersebut. Alamaaak!

Menyalahkan konsumen, jelas tindakan gegabah. Benar, sebagian adalah karena ketidakmengertian konsumen dalam menggunakan berbagai akses yang disediakan oleh kedua provider tersebut. Tetapi ketika yang digunakan adalah model “negative option”, praktis konsumen nihil dari unsur kesalahan. Ini semua terjadi, karena lemahnya pengawasan Kementrian Informasi dan Komunikasi (Kominfo) terhadap perilaku operator seluler dan content provider. Jangankan soal pencurian pulsa, terhadap iklan-iklan yang bergentayangan yang seolah memberikan tarif murah pun, praktis  Kominfo dan BRTI, nyaris tak berdaya. Berbagai tawaran iklan tarif murah, yang sudah menjurus pada “perang tarif” lebih banyak mengelabui konsumen seluler. Mana mungkin ada sms gratris hingga 10 ribu sms? Pertanyaannya, apakah sempat seorang konsumen mengirim sms hingga 10 ribu? Atau mengatakan, “telepon ke operator mana pun tidak membayar…”. Keluh kesah, pengaduan bahkan caci-maki konsumen nyaris diabaikan oleh para regulator yang terhormat itu. Para operator seluler dan content provider pun melenggang kangkung, tak tersentuh.

Ketidakberdayaan regulator mengawasi kinerja dan perilaku operator seluler, boleh jadi karena jumlah operator seluler terlalu banyak, yakni 12 operator. Bandingkan dengan, misalnya India, yang jumlah penduduknya lebih banyak (1,1 miliar penduduk), toh jumlah perusahaan selulernya cuma 7 (tujuh) buah. Atau bahkan China, yang jumlah penduduknya 1,3 miliar tetapi jumlah perusahaan selulernya hanya 3 (tiga) buah. Sementara Indonesia, yang jumlah penduduknya hanya 230 juta–dan jumlah pengguna selulernya hanya 150 juta; jumlah perusahaan selulernya malah mencapai 12 perusahaan.

Mendorong konsumen untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib (kepolisian) jika diduga terjadi penyedotan pulsa, adalah tak tepat. Alih-alih konsumen malah digugat balik, sebagaimana kasus Ferry Kuntoro, yang melaporkan hal ini ke Polda Metro Jaya. Jadi, yang paling efisien adalah ada tindakan hukum konkrit yang dilakukan oleh Kominfo, BRTI, dan bahkan pihak Kepolisian. Secara keperdataan, kembalikan uang/pulsa  konsumen yang telah digondol paksa. Secara administratif, berikan sanksi keras kepada perusahaan seluler dan konco-konconya itu. Jika perlu tutup dan cabut ijin operasionalnya. Kominfo dan BRTI harus berani memaksa perusahaan seluler untuk menghentikan sementara (moratorium) kerja sama dengan content provider. Dan, pihak kepolisian pun bisa menggunakan tindakan pro justitia. Bahkan, kalau perlu prinsip corporate crime yang diatur dalan UU Perlindungan Konsumen, bisa diterapkan untuk menjerat kasus ini. Dari sisi kebijakan, Kominfo dan BRTI pun harus melakukan review terhadap membanjirnya jumlah peruahaan seluler di Indonesia, yang mencapai 12 perusahaan. Jumlah yang terlalu banyak, terbukti tidak menciptakan iklim usaha kondusif; tetapi malah menciptakan iklim persaingan yang tidak sehat. Ujung-ujungnya, konsumen yang menjadi korban (dikorbankan!).

Berkomunikasi secara nyaman dan aman adalah hak konsumen jasa seluler, dan hak warga negara pula. Negara, dalam hal ini Kominfo dan BRTI wajib memberikan perlindungan hukum yang kokoh bagi konsumen dan warga negaranya. Jangan biarkan hak-hak dasar konsumen seluler direnggut secara paksa oleh perusahaan seluler dan content provider. Negara jangan melakukan pembiaran (crime by ommision) sehingga kejahatan ekonomi (economic crime) terus mewabah!

 

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Suara Pembaruan, 11 Oktober 2011)