Langit pengendalian tembakau (tobacco control) yang biasanya tampak gelap-gulita, kini mengalami pencerahan. Itu terjadi setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak semua permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Kesehatan, oleh kubu pro industri rokok (Selasa, 1/11/2011). Pertama, permohonan uji materi oleh Bambang Soekarno, yang menyoal diskriminasi kategorisasi produk tembakau sebagai zat adiktif (register perkara No. 19/PUU-VIII/2010). Dan, kedua, uji materi oleh Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) terkait dengan pasal tentang peringatan kesehatan bergambar (register perkara No.34/PUU-VIII/2010). Dengan gamblang, majelis hakim MK yang dikomandani Mahfud MD, menyatakan tidak ada diskriminasi terhadap produk tembakau sebagai zat adiktif. MK juga menegaskan peringatan kesehatan pada bungkus rokok selain dengan tulisan yang jelas juga harus disertai gambar dan bentuk lainnya.

Mengapa putusan MK menjadi sangat penting untuk fundamen hukum pengendalian tembakau di Indonesia?

Putusan MK adalah kartu mati untuk industri rokok berkelit dengan regulasi, khususnya yang diusung oleh Undang-Undang Kesehatan. Tak ada lagi celah hukum bagi kubu pro industri rokok untuk mengutak-atik pasal tentang kategorisasi tembakau zat adiktif. Putusan MK bersifat final, tak ada upaya banding atau kasasi. Bahkan, putusan MK telah menyelamatkan muka Indonesia di mata Internasional. Tak bisa dibayangkan akan sekeras apa komunitas internasional mentertawakan Indonesia, jika MK mengabulkan gugatan Bambang Soekarno cs. Putusan MK juga memecahkan mitos bahwa kubu industri tembakau selalu memenangkan “perturangan” dalam konteks dialektika regulasi dan kebijakan. Kali ini industri rokok terjungkal. Ibarat pertandingan tinju, industri rokok kalah TKO, Tecnical Knock Out. Eksistensi UU tentang Kesehatan adalah sangat strategis untuk pengendalian tembakau, sekalipun hanya mengatur beberapa pasal tentang bahaya tembakau/rokok.

Namun demikian, putusan MK tidak akan berarti apa-apa, jika tidak dielaborasi dengan aturan yang lebih operasional dan konkrit. Oleh karena itu, pertanyaan berikutnya, pasca putusan MK, apa yang musti dilakukan Pemerintah dan juga para aktivis penggerak pengendalian tembakau?

Sahkan RPP!

Pemerintah (Kementrian Kesehatan) harus untuk bertindak cepat melakukan finishing  pembahasan dan segera mengesahkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif. Tak ada lagi ruang untuk mempersoalkannya substansi yang diakomodasi oleh RPP, khususnya mengenai peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning), sebesar 50 persen pada bungkus bagian depan dan atau bagian belakang. Toh, selama ini industri rokok telah mengekspor produk rokoknya ke berbagai negara di dunia, dengan menggunakan peringatan kesehatan bergambar. Berbasis putusan MK, industri rokok tak punya argumen lagi untuk menghentikan langkah pembahasan dan pengesahan RPP Pengamanan Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif. Seharusnya RPP tersebut sudah disahkan pada 2010 yang lalu. Mandat UU tentang Kesehatan adalah satu tahun setelah Undang-Undang disahkan, maka RPP-nya harus sudah diberlakukan. Kini RPP dimaksud telah delay satu tahun. Tak ada lagi alasan bagi Pemerintah untuk bertele-tele melakukan pembahasan dan pengesahan, kecuali jika Pemerintah ingin menuai gugatan publik dari kubu aktivis tobacco control.

Intervensi RUU

Industri rokok adalah industri  yang licin bak seekor belut, bahkan culas bak seekor serigala. Peperangan belum berakhir. Masih banyak peluang bagi kubu industri rokok untuk terus melakukan intervensi, baik secara legal maupun ilegal. Ingat, Badan Legislatif DPR kini sedang membahas RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau bagi Kesehatan. Setidaknya ada dua hal–secara kasat mata, yang telah dilakukan kubu industri rokok untuk mengintervensi RUU Pengendalian Dampak Produk Tembakau ini. Pertama, meminta Baleg DPR untuk men-delete RUU Pengendalaian Dampak Tembakau dari daftar RUU yang akan dibahas di masa sidang 2011-2012; dan kedua, membuat RUU tandingan. Bekerja sama dengan Lembaga Penelitian Eknomi Kerakyatan UGM, kini AMTI (Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia) telah menggagas RUU yang “serupa tapi tak sama”. RUU versi AMTI ini telah diselundupkan ke Baleg DPR. Dalam konteks ini, sebagian anggota Baleg DPR plus akademisi UGM diduga telah “terbeli” oleh manuver kubu  industri racun ini, baik dari sisi pemikiran (paradigma) maupun material.

Kesimpulan, Saran

Negeri ini begitu buram dan bahkan memalukan terhadap masalah pertembakauan. Bayangkan, Indonesia menduduki rangking ketiga besar dunia untuk konsumsi tembakau, setelah China dan India. Setidaknya saat ini terdapat 65 juta perokok aktif, yang per tahunnya menghabiskan 265 miliar batang. Lebih ironis lagi, tingkat pertumbuhan perokok di kalangan anak-anak, remaja, dan bahkan wanita mengalami pertumuhan tercepat di dunia. Ini semua, secara empiris, karena produk rokok masih di jual bebas bak kacang goreng, cukai dan harga rokok terendah di dunia, plus iklan dan promosi rokok yang begitu gencar dan masif, di semua lini.  Wajar dan sangat logis, kalau Indonesia menjadi sasaran empuk (surgawi) bagi industri rokok, baik industri rokok nasional dan bahkan multi nasional. Dua industri rokok multinasional, PT Philip Morris Internasional dan PT BAT Internasional, telah mengakuisisi industri rokok nasional, yakni PT HM Sampoerna dan PT Bentoel.

Dengan konfigurasi persoalan yang begitu mengenaskan itu, sudah seharusnya Pemerintah Indonesia menelorkan produk regulasi yang komprehensif untuk melindungi masyarakat Indonesia dari dampak merusak produk tembakau. Presiden Yudhoyono jangan hanya “ngomong doang” yakni agar kampanye bahaya rokok terus digalakkan, tapi Presiden tidak melakukan tindakan apapun untuk melindungi masyarakat dari gempuran racun rokok. Itu saja sama Presiden Yudhoyono melakukan pembiaran (ommission) terhadap pembunuhan masal dan sistematis oleh industri rokok terhadap rakyatnya.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI, dan Anggota Indonesian Tobacco Control Network (ITCN).

(Dimuat di Koran Suara Pembauran, 8 November 2011)