Jika berbicara sarana transportasi Jakarta, layak untuk mengelus dada. Konsumen transportasi seperti bus kota, Kopaja, Metromini, Mikrolet, dan KRL Commuter Jabodetabek, belum ditempatkan pada pelayanan yang semestinya. Setidaknya moda transportasi publik harus memenuhi 3 kriteria (syarat). Pertama faktor keamanan. Mencakup aman dari gangguan kejahatan, perjalanan yang aman/meminimalisir terjadi kecelakanan. Kedua, faktor kenyamanan. Mencakup kenyamanan di dalam angkutan umum, juga kenyaman ketika menunggu di halte, terminal maupun stasiun. Malangnya, sekitar 50 persen halte bus di Jakarta sudah beralihfungsi menjadi lahan berdagang. Tentunya akan mengurangi kenyamanan bagi para pengguna ketika menunggu angkutan umum. Ketiga faktor kecepatan atau ketepatan waktu. Terkait dengan kelancaran perjalanan/terhindar macet.

Sialnya bagi pengguna transportasi umum, tak satupun kriteria minimal tersebut terpenuhi. Belum lagi ditambah kemacetan yang setia menyapa saban harinya, bahkan cenderung bertambah akut. Para pakar transportasi memperkirakan pada 2014, Jakarta akan stagnan atau lumpuh total akibat kemacetan, jika Pemerintah dan Pemprov DKI tidak  segera membenahi transportasi secara sungguh-sungguh.  Moda transportasi yang berbasis angkutan massal harus segera dibenahi, tidak hanya Transjakarta Busway dan KRL Commuter. Angkutan kecil seperti mikrolet atau angkot dan sejenisnya perlu ditata.

Wacana pembangunan jalan alternatif belum sepenuhnya bisa mengatasi masalah kemacetan, tetapi justru berpotensi menambah masalah. Penambahan jalan alteratif dikhawatirkan justru akan menstimulan orang memiliki kendaraan pribadi.

Harus disadari dan dipahami bahwa untuk mengatasi problem kemacetan di Jakarta tidak bisa seperti membalikan telapak tangan, tidak bisa diselelesaikan dalam jangka pendek, karena butuh waktu serta keseriusan dari semua pihak. Apa lagi pertumbuhan kendaraan tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan raya. Setiap tahun jumlah pertumbuhan kendaraan diperkirakan 10 persen, sedangkan pertumbuhan jalan tidak lebih dari 1 persen.

Berdasarkan data yang dimiliki Polda Metro Jaya, pada 2009 lalu, jumlah sepeda motor di Jakarta mencapai 7,5 juta unit atau meningkat dari tahun 2008 yang 6,7 juta unit. Kemudian, jumlah angkutan umum di tahun 2009 mencapai 859 ribu unit atau meningkat dari tahun 2008 yang sebanyak 847 ribu unit. Begitu juga dengan jumlah kendaraan pribadi (mobil) tahun 2009 sebanyak 2,11 juta unit. Jumlah ini meningkat dari tahun 2008 yang mencapai 2 juta unit.

Total kebutuhan perjalanan di DKI Jakarta sebanyak 20,7 juta perjalanan per hari. Kemudian total jumlah kendaraan bermotor yang melintasi jalan di DKI Jakarta sekitar 5,8 juta unit, terdiri dari kendaraan pribadi sebanyak  5,7 juta unit (98,5%) dan angkutan umum  88.477 unit (1,5%). Tak heran, bila kemacetan menjadi sajian utama warga ibu kota.

Dampak kerugian yang muncul juga mencengangkan. Menurut kajian ilmiah, jumlah kerugian secara ekonomi yang disebabkan karena kemacetan di Jakarta mencapai Rp 28,17 trilyun per tahun. Potensi kerugian bahan bakar yang disebabkan karena kemacetan lalu lintas mencapai Rp 10,7 trilyun/tahun, disusul kerugian waktu produktif  yang habis di jalan sebesar Rp 9,77 trilyun/tahun, dan kerugian pemilik angkutan kota Rp1,9 trilyun/tahun.

Tidak hanya itu saja, kemacetan di Jakarta diduga menjadi salah satu pertimbangan bagi kebanyakan investor asing sehingga enggan berinvestasi, sementara pemodal yang sudah ada justru berencana memindahkan industrinya ke luar negeri.

Electronic Road Pricing (ERP)

Dalam waktu dekat ini pengguna kendaraan pribadi di Jakarta harus siap-siap mengalokasikan anggaran tambahan. Pasalnya, pemerintah Jakarta berencana mengganti kebijakan three in one dengan electronic road pricing (ERP) atau sistem jalan berbayar. Rancangan peraturan pemerintah soal penerapan jalan berbayar ini sudah rampung bulan Agustus tahun ini.

Dari hasil evaluasi, Three in one  dinilai tidak  efektif, justru menimbulkan dampak sosial berupa hadirnya para joki. Rencana baru untuk mengendalikan kemacetan dengan  retribusi. Sehingga kalau pengguna kendaraan pribadi masuk ke daerah three in one yang nantinya akan diganti dengan sistem retribusi harus membayar secara elektronik.

Sistem pembayaran elektronik ini dilakukan dengan cara memasang sensor elektronik di tiap wilayah jalan berbayar. Setiap kendaraan diwajibkan memiliki kupon untuk melintasi jalan. Tarifnya berkisar Rp. 20.000 untuk kendaraan roda empat ke atas dan Rp 7.000 untuk kendaraan roda dua.

Jika peraturan ini diterapkan para pengguna kendaraan pribadi bakal  merogoh kocek lebih dalam untuk mobilisasi sehari-hari. Pemberlakuan sistem ERP diharapkan mengurangi dan mengalihkan pengguna kendaraan pribadi pada kendaraan umum. Hanya saja perlu dicermati, pendapatan dari penerapan jalan berbayar harus dialokasikan untuk membenahi masalah transportasi di Jakarta. Seperti untuk memperbaiki jalan dan memperbarui transportasi massal. Dan tidak dimasukkan ke kas Dispenda yang akhirnya akan disebar ke APBD.

Namun rasanya tidak fair apabila pemerintah hanya mengejar pemberlakukan ERP sesegera mungkin.  Karena akan percuma, sepanjang moda transportasi massal belum dibenahi. Tugas utama Pemprov Jakarta harus segera membenahi angkutan massal seperti Transjakarta dan KRL untuk mendukung penerapan sistem jalan berbayar.

Benahi Transportasi

Cita-cita untuk menyediakan dan mengembangkan transportasi massal seperti; monorel, water-way dan subway sepertinya hanya sebuah wacana belaka. Bahkan proyek monorel yang sudah dimulai sejak 2004 sampai sekarang terbengkalai, hanya tiang-tiang penyangga yang baru terealisasi. Padahal sarana transportasi publik yang memadai menjadi hal mutlak yang harus disediakan guna mengikis kendaraan pribadi di jalanan.

Walaupun beban jaringan jalan eksisting sudah terlampau berat menampung karena jumlah kendaraan bermotor baik pribadi maupun angkutan umum yang setiap hari terus bertambah banyak. Namun kalau Pemprov DKI dan Pemerintah Pusat sudah bisa menyediakan transportasi massal yang nyaman dan dengan mudah diakses masyarakat, mudah untuk memigrasikan pengguna kendaraan pribadi pada angkutan massal.

Untuk itu, upaya mengatasi kemacetan lalu lintas di Jakarta diperlukan tiga upaya yang sinergis dan harus dilakukan secara bersamaan. Yaitu, pertama harus dilakukan pengembangan, pembangunan dan peningkatan layanan transportasi massal. Kedua mengendalikan penggunaan kendaraan pribadi, terutama mobil dan Ketiga penegakan peraturan yang jelas, tegas dan tidak pandang bulu. Ketiga-tiganya harus dilakukan secara bersamaan, tidak bisa hanya mengandalkan satu upaya saja.

Selain itu, penyelesaian masalah kemacetan tidak hanya diserahkan ke tangan Pemprov DKI. Akan tetapi pemerintah pusat juga harus turut bertanggungjawab menyelesaikan masalah kemacetan. Sebab Jakarta merupakan simbol kota di Indonesia .

***

Karunia Asih Rahayu, Senior Staff YLKI

(Dimuat di Majalah Warta Konsumen)

Gambar diambil dari sini