Menolak dan melawan regulasi! Itu stigma paling konkrit terhadap perilaku industri rokok dimanapun. Apalagi perilaku industri rokok di Indonesia. Bahkan, perilaku industri rokok di Indonesia, bukan saja melawan regulasi tetapi juga gemar menyebarkan berita bohong, manipulasi data, fakta, bahkan menyebarkan berita yang berpotensi fitnah terhadap individu tertentu. Perilaku semacam itu, akhir-akhir ini kian kentara, manakala Pemerintah (khususnya Kementrian Kesehatan) tengah menggodog dan mengesahkan tentang Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengendalian Produk Tembakau sebagai Zat Adiktif. Setelah keok di berbagai pertarungan hukum, khususnya via permohonan uji materi terhadap Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan di Mahkamah Konstitusi; perilaku industri rokok bak dewa mabuk!

Minimal ada tiga isu yang dihembuskan oleh industri rokok untuk melawan pengesahan RPP Pengendalian Dampak Tembakau; yaitu, pertama, menghembuskan isu bahwa RPP Pengendalian Tembakau akan mematikan petani tembakau. Setelah RPP ini disahkan, dianggapnya petani tembakau tidak boleh menanam tembakau.  Ini jelas berita bohong yang paling bohong di 2012 ini. Tak secuil pun pasal atau bahkan ayat di RPP tentang Pengendalian Tembakau yang mengatur tentang petani tembakau dan atau tanaman tembakau.  Apalagi melarang petani nenanam tembakau! Bahkan, substansi RPP juga tidak melarang masyarakat Indonesia untuk merokok. RPP hanya mengatur tentang Kawasan Tanpa Rokok dan peringatan kesehatan bergambar (pictorial health warning). Terkait dengan peringatan kesehatan bergambar, toh bukan hal yang asing lagi, karena selama ini industri rokok Indonesia telah mampu memproduksi rokok dengan peringatan kesehatan bergambar (untuk diekspor).

Kedua,  menghembuskan isu bahwa RPP ditunggangi oleh kepentingan asing. Jelas ini hembusan isu yang tidak masuk akal. Sebuah regulasi yang bertujuan untuk melindungi dan menyehatkan masyarakat Indonesia, kok diklaim ditunggangi kepentingan asing. Ketiga, menciptakan musuh baru di kalangan petani tembakau. Akhir-akhir ini di beberapa kota di Jawa Tengah, khususnya Kudus, Semarang, Kendal, Magelang, dan Purworejo; terpampang baliho besar yang bertajuk “10 Musuh Petani dan Buruh Kretek”. Terdapat 10 orang tokoh yang diposisikan sebagai musuh petani tembakau, antara lain: Hakim Sorimuda Pohan (mantan Anggota DPR), Kartono Mohamad, Endang Sedyaningsih (Menkes), Tulus Abadi (YLKI), Abdillah Ahsan (Peneliti LD UI), Arist Merdeka Sirait (Komnas Perlindungan Anak), dan Todung Mulya Lubis.  Selain bersifat fitnah, aksi pemasangan baliho ini tak lebih dari dagelan belaka. Dalang dibalik pemasangan baliho ini diduga kuat adalah industri rokok, yang berkomplot dengan (oknum pengurus) asosiasi petani tembakau.

Siapakah sejatinya musuh petani tembakau?

Secara kasat mata, tak terlalu sulit menjawab pertanyaan itu; pertama, industri rokok. Inilah musuh petani tembakau paling utama, khususnya industri rokok besar. Faktanya, industri rokok di Indonesia melakukan praktek oligopoli dalam bisnis tembakau di Indonesia. Industri rokok yang menentukan harga dan kualitas daun tembakau. Industri rokok pun mempunyai stok tembakau, minimal untuk 3 (tiga) tahun masa produksi. Jika masih kurang, industri rokok dengan gampang akan mengimpornya. Praktis petani tembakau tak punya daya tawar apa pun saat berhadapan dengan industri rokok. Kedua, tengkulak dan grader tembakau, yang merupakan kaki tangan industri rokok. Kedua pihak inilah yang menangguk untung dari bisnis tembakau (selain industri rokok). Jika musim panen tembakau tiba, tengkulak dan grader berpesta pora dengan “uang tiban”. Jika petani tembakau mendapat keuntungan Rp 50 jutaan per panen, maka tengkulak bisa meraup Rp 200 jutaan. Seorang grader (orang yang menentukan kualitas daun tembakau), minimal upahnya Rp 400 jutaan, setiap kali panen.

Ketiga, hama tanaman tembakau. Tembakau adalah jenis tanaman yang sangat manja, perlu perawatan intensif. Tembakau adalah jenis tanaman yang sensitif (rentan) terhadap hama penyakit. Oleh karena itu, pertanian tembakau lebih banyak menyerap pestisida untuk mengusir hama tanaman. Keempat, cuaca yang tidak menentu. Selain dengan hama, tanaman tembakau juga sangat peka dengan cuaca, khususnya jika musim penghujan tiba. Petani tembakau akan “nangis darah” jika panen tembakau bareng dengan musim hujan. Keuntungan puluhan juta rupiah yang sudah di pelupuk mata pun bisa lenyap seketika. Musim hujan yang tidak menentu (karena fenomena perubahan iklim), jelas menjadi hantu baru bagi petani tembakau. Dan, kelima, yang tak disangka, musuh petani adalah para importir tembakau. Lahan tembakau terus menurun, dari semula 240.000 hektar, tinggal menjadi 200 ribu hekatare (per 2007). Tetapi produksi rokok nasional terus meningkat tajam, dari mulai ‘hanya’ 35 milyar batang (1970-an), hingga sekarang menjadi 350 milyar batang per tahun (2011). Solusi untuk menutup kekuarangan bahan baku, ya, impor tembakau. Maka, tidak heran jika menurut data BPS (2007), impor daun tembakau bertumbuh menjadi 7,64 persen; defisit jika disandingkan dengan ekspor rokok yang hanya 6,82 persen.

Kesimpulan, Saran

Jadi musuh utama petani tembakau bukan RPP tentang Pengendalian Tembakau. Bukan pula 10 orang yang concern dengan bahaya tembakau. Musuh utama petani tembakau adalah industri rokok, tengkulak/grader, importir tembakau, hama penyakit tanaman tembakau, dan cuaca yang tak menentu. Seharusnya nyali Pemerintah tak surut untuk segera mengesahkan RPP Pengendalian Tembakau demi terwujudnya derajad kesehatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Jangan biarkan industri rokok (besar) memanipulasi fakta secara terus-menerus, sementara mereka berpesta pora dengan kekayaan yang melimpah! Harus diakhiri fenomena kemiskinan akut terhadap petani tembakau dan perokok rumah tangga miskin oleh karena menjadi tumbal industri rokok.

***

Tulus Abadi, Anggota Pengurus Harian YLKI

(Dimuat di Koran Suara pembaruan, 16 Februari 2012)