JAKARTA (Suara Karya): Wacana pelarangan pembelian bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi jenis premium untuk kendaraan pribadi tertentu yang terus digulirkan pemerintah, ternyata makin membingungkan masyarakat luas. Apalagi hingga kini pemerintah terlihat belum mempersiapkan pelaksanaan kebijakan itu secara matang, baik dari sisi landasan hukum maupun teknis di lapangan.

 

“Persoalan terkait substansi suatu regulasi, pastinya bisa menimbulkan pro dan kontra. Untuk itu, pemerintah harus berani ambil keputusan tegas dan matang, bukan selalu berwacana. Kalau seorang menteri selalu berwacana, lebih baik memimpin LSM (lembaga swadaya masyarakat) saja,” kata pengurus harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo kepada Suara Karya di Jakarta, Minggu (15/4).

 

Menurut dia, subsidi sudah seharusnya diberikan kepada angkutan umum. Hal ini dilakukan agar pelayanan untuk masyarakat bisa ditingkatkan sehingga para pengendara mobil pribadi bersedia beralih ke angkutan umum.

 

“Namun, sampai saat ini subsidi untuk angkutan umum masih belum dilaksanakan. Pemerintah tetap saja terus berwacana, seperti pembatasan atau pelarangan premium serta penyediaan premix. Seharusnya program yang akan dijalankan bisa lebih fokus dan jelas,” ujar Sudaryatmo.

Dia menjelaskan, banyaknya wacana seputar pengaturan konsumsi BBM bersubsidi yang terus digulirkan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, dipastikan menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.

“Masyarakat bingung (memikirkan) program apa yang akan diterapkan pemerintah. Apalagi kebijakan yang ada selama ini hasilnya tidak ada. Seperti berbagai spanduk bertuliskan larangan pembelian BBM bersubsidi yang dipasang di SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum). Apa hasil dari kebijakan Kementerian ESDM ini?” tutur dia.

Selain itu, dia mengakui, penerapan dalam pengaturan pembelian BBM bersubsidi, seperti pelarangan pembelian premium bagi kendaraan pribadi, juga hanya akan menyulitkan masyarakat. Selain dibutuhkan pengawasan yang maksimal, aturan itu juga harus disertai dengan prosedur dan mekanisme yang jelas sehingga implementasinya tidak mengorbankan petugas di SPBU. “Kebijakan pembatasan membuat setiap kendaraan yang membeli premium harus dicek satu per satu. Lantas, bagaimana kesiapan pengawasannya?” ucapnya.

Pelaksana Tugas Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Bambang PS Brodjonegoro mengatakan, pengendalian kuota BBM bersubsidi sebesar 40 juta kiloliter dan penyaluran secara tepat sasaran harus dilakukan. Hal ini mengingat pendistribusian BBM bersubsidi masih banyak tidak tepat sasaran. “Akibatnya, volume kuota terus melonjak. Kita tidak mau sudah subsidinya salah sasaran, jumlahnya juga memberatkan keuangan negara secara umum,” katanya.

Menurut dia, selain melakukan pengendalian BBM bersubsidi, pemerintah seharusnya juga mengupayakan pengalihan penggunaan BBM ke bahan bakar gas (konversi BBG) bagi kendaraan umum. “Hal ini menjadi komplemen agar upaya pengendalian menjadi efektif,” ujarnya. (A Choir/Andrian)

Sumber : suara karya online