Beruntunglah Indonesia yang terletak di belahan benua Asia, tepatnya Asia Tenggara. Sebab – seperti halnya negara-negara tetangga yang kemudian bergabung dalam wadah ASEAN – merupakan pasar besar yang sangat prospektif. Dengan penduduk mencapai lebih dari 550 juta jiwa, berarti ada 550 juta lebih konsumen sungguh sebuah keadaaan yang sangat menakjubkan jika dilihat dari peta pasar.
Kawasan ASEAN memiliki produk domestik bruto lebih dari 700 miliar dollar AS, sebuah angka yang cukup menggiurkan untuk ludah para pelaku usaha. Dan yang tak kalah penting, di kawasan ASEAN juga terdapat potensi luar biasa dalam hal sumber daya alam. Dengan sebagian besar negara anggotanya beriklim hujan tropis, maka industri-industri pertanian, perkebunan dan kehutanan merupakan andalan utama bagi prospek komoditi jangka panjang.
Dengan prospek yang amat menggiurkan ini, ASEAN ibarat gadis cantik yang memikat para jejaka (baca: pelaku usaha) multinasional dari negara-negara maju dengan dukungan kebijakan pemerintahannya. Tengaranya nampak dari begitu bersemangatnya negara-negara diluar ASEAN untuk ikut aktif dan selalu hadir pada pertemuan ARF (Asean Regional Forum) dalam rencana pembentukan AEC (Asean Economic Community) yang akan dimulai tahun 2020.
Jika kemudian rencana AEC nantinya betul-betul terlaksana, maka ASEAN akan benar-benar menjelma menjadi suatu kawasan ekonomi tanpa batas negara, dimana setiap penduduk maupun sumber daya yang ada pada setiap negara dapat bergerak bebas kemana ia suka. Dan jika Uni Eropa yang akan dipakai menjadi acuan ASEAN maka integrasi ekonomi akan meliputi empat hal pokok; kebebasan pergerakan barang/komoditi (free movement of goods), kebebasan bergerak tenaga kerja (freedom of movement workers). Kebebasan dalam penyelenggaraan jasa dengan pengakuan kecakapan yang setara (freedom of establishment and provision of service and mutual recognition of diplomas), dan pergerakan kapital (free movement of capital).
Posisi Indonesia
Namun, rencana pembentukan AEC ini yang kemudian menimbulkan kekahawatiran di interen bangsaIndonesia. Banyak orang menyangksikan apakah benarIndonesiadapat bersaing dengan anggota ASEAN lainnya? Kekhawatiran ini tentu beralasan dan dapat menimbulkan masalah jika melihat kondisi makro perekonomian yang ada di Negara kita. Produk dan komoditiIndonesiaumumnya masih dibantu oleh pemerintah dengan kebijakan tarif maupun subsidi, sehingga akan sulit bersaing dengan produk negara-negara ASEAN lain seperti Kamboja,LaosdanVietnamyang memiliki kualitas manajemen baik, sehingga mampu menghasilkan barang lebih berkualitas. Barang-barang impor seperti, garam, gula, beras, buah dan produk tekstil, saat ini saja telah menguasai pasar dalam negeri kita. Akibatnya tentu saja produsen dalam negeri semakin terpukul dan gulung tikar perlahan-lahan.
Dalam jangka pendek mungkin konsumen merasa diuntungkan dengan kondisi ini karena untuk sementara dapat memperolah harga murah dengan kualitas bersaing. Namun jika produk dalam negeri yang ada tinggal kenangan belaka, maka ketergantungan pada impor semakin besar dan lambat atau cepat, harga komoditi tersebut akan mendikte kita karena gejolak pasar. Dan celakanya, konsumen terpaksa harus menerima karena tak ada alternatif lain.
Karena pada dasarnya prasyarat pasar yang sehat adalah jika mekanisme kontrol terhadap keberadaannya telah berjalan dengan baik, maka 220 juta konsumen Indonesia merupakan sasaran empuk bagi berbagai macam komoditi, tak terkecuali produk-produk cacat maupun yang tak memenuhi persyaratan keamanan untuk dikonsumsi. Kasus susu bermelamin, mainan anak berbahaya, merupakan contoh bagaimana dengan mudahnya berbagai produk yang tak layak masuk Indonesia baik secara langsung dari Negara produsennya maupun lewat Negara ketiga yang bukan tak mungkin anggota Asean.
Dalam jangka panjang hal-hal semacam ini bukan lagi merupakan kejadian insidental semata-mata, namun memang sudah menjadi strategi pemasaran dari kalangan negara-negara industri yang selalu mengambil keuntungan dari penggunaan standar ganda, berkualitas untuk rakyatnya, sampah untuk rakyat negara lain.
Pelengkap Penderita
Potensi pasar ASEAN yang menggiurkan ternyata tidak serta merta menguatkan posisi konsumen. Kedudukan masyarakat konsumen di kawasan ASEAN diletakkan pada posisi pelengkap penderita saja. Dalam komunitas ekonomi ASEAN masalah perlindungan konsumen hanya dimasukan pada persoalan kompetisi ekonomi regional belaka. Itupun tujuannya hanya upaya memperkuat keberadaan Komite Koordinasi Perlindungan Konsumen Asean (CCCP), dengan kegiatan penguatan jaringan dalam pertukaran informasi, serta pelatihan bagi stafnya.
Komite yang notabene merupakan organ pemerintah, pada prakteknya punya banyak keterbatasan dalam memberikan perlindungan konsumennya, karena secara substansial hampir tidak mungkin kelembagaan ini mengambil porsi lebih membela kepentingan masyarakat konsumen, dengan menerapkan sanksi keras kepada pelaku usaha.
Padahal sejak awal kesepakatan ASEAN termasuk komunitas ekonomi, pendekatannya adalah keutamaan dari keberadaan masyarakatnya menjadi hal paling penting (people centered). Dengan demikian mustinya upaya perlindungan konsumen menjadi roh dari komunitas ekonomi, selayaknya diletakkan pada arus utama, dan bukan sekedar pelengkap saja.
Mengapa hal ini menjadi penting ? karena cara pandang dalam membangun komunitas ekonomi ASEAN akan berbeda manakala keberadaan sebagian besar masyarakat konsumen dijadikan sudut pandangnya. Pilihan pada penyediaan barang dan jasa dan pergerakan modal maupun investasi tentu akan memperhitungkan apakah kepentingan sebagian besar konsumen tidak terkena dampaknya. Dengan cara pandang semacam ini maka upaya perlindungan konsumen bukan semata-mata dilihat dari sudut kompetisi saja, namun harus dijadikan prasyarat pada proses bisnis dan pengelolaan kebijakan sektor ekonomi baik oleh setiap Negara di kawasan ASEAN maupun Negara lain yang mempunyai kepentingan dengan pasar ASEAN.
***
Agus Sujatno, Staff YLKI
Sumber: Handouts presentasi Indah Suksmaningsih
Gambar diambil dari sini
0 Comments on "Konsumen, ASEAN dan Perdagangan Global"