Dalam prinsip pola makan seimbang menganjurkan porsi yang berimbang antara sumber-sumber karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Sebagai bahan perbandingan, beberapa komunitas masyarakat menikmati usia tua yang produktif (hidup sehat hingga 100 tahun), seperti suku Hunza di Himalaya dan Okinawa di Jepang. Mereka memiliki pola makan yang lebih sehat yaitu dengan mengonsumsi sayur dan buah lebih banyak, mengonsumsi makanan segar (fresh, bukan olahan pabrik), sedikit mengonsumsi daging dan lemak, serta sering beraktivitas fisik.

Namun seiring perkembangan waktu, prinsip pola makan seimbang mulai banyak ditinggalkan. Bahkan pola konsumsi anak-anak, khususnya untuk makanan jajanan, makanan instan dan junk food semakin meresahkan. Tidak jarang ditemukan, anak-anak kecil dengan lahapnya mengonsumsi makanan cepat saji. Lebih celaka, sistem pemasaran restoran junk food menarik perhatian anak-anak dengan memberikan hadiah.

Strategi marketing dengan memanfaatkan kelemahan anak-anak telah menggiring pola konsumsi yang tidak berimbang dan konsumtif. Tak berlebihan jika kemudian anak-anak akan memilih restoran cepat saji ketika lapar menyerang ketimbang rumah makan tradisional. Berdasarkan pantauan YLKI, strategi pemasaran yang kerap diterapkan oleh restoran cepat saji diantaranya gencarnya iklan yang menyasar segmen anak-anak, menyediakan tempat bermain anak di restoran fast food, ikon yang lekat dengan anak-anak seperti badut, artis anak-anak, tokoh kartun dan sebagainya, pemberian hadiah khusus untuk anak-anak di dalam kemasan produk serta promosi ke sekolah-sekolah.

Sementara, anak-anak adalah golongan konsumen yang rentan terhadap dampak strategi marketing yang tidak etis oleh produsen pangan tidak sehat. Menghadapi kekuatan ini berbagai pihak harus bersinergi untuk mengupayakan  perlindungan maksimal kepada anak-anak.

Kebiasan mengonsumsi makanan cepat saji inilah yang akhirnya menjadi kebiasaan bagi orang tua untuk mulai meminggirkan makanan sehat dan seimbang. Guna mendapatkan gambaran bagaimana masyarakat memahami makanan seimbang, baru-baru ini YLKI mengadakan survei tentang pola konsumsi keluarga. Dan berikut Telaah hasil survey yang dilakukan YLKI.

Ibu dan Anak

Survei yang dilakukan pada Mei 2012, menyasar di 5 wilayah DKI Jakarta (Jakarta Utara, Jakarta Timur, Jakarta Pusat, Jakarta Selatan dan Jakarta Barat). Survei difokuskan pada 60 sekolah yang terdiri dari 20 sekolah taman kanak-kanak (TK); 30 sekolah dasar negeri (SDN) dan 10 sekolah dasar swasta (SDS). Setiap sekolah yang disurvei, diambil responden 10 – 11 orang tua murid. Kuesioner diisi langsung oleh orang tua murid, karena yang mengambil keputusan di dalam keluarga, khususnya untuk makanan yang akan dikonsumsi adalah orang tua.

Jumlah responden yang terlibat dalam survei ini sebanyak 204 responden (34%) untuk tingkat TK, 300 responden (49%) untuk SDN dan 105 responden (17%) untuk SDS. Total responden adalah 609 orang yang melibatkan responden laki-laki (6 orang; 1%) dan responden perempuan (603 orang; 99%).

Berdasarkan usia, responden berkisar antara kurang dari 25 tahun sebanyak 14 orang (2%), usia 25 – 30 tahun sebanyak 111 orang (18%), usia 31 – 35 tahun, 188 orang (31%) dan lebih dari 35 tahun sebanyak 296 orang (49%).

Produk Segar

Survei menemukan sebanyak 66% responden membeli produk segar di pasar tradisional, hanya 14% yang berbelanja di swalayan (ritel modern). Sedangkan, beberapa responden masih memanfaatkan tukang sayur keliling dan warung yang biasa menjual produk segar untuk kebutuhan keluarga. Ini menunjukkan bahwa animo masyarakat mengunjungi pasar tradisonal untuk kebutuhan konsumsi sehari-hari masih mendominasi. Khususnya untuk berbelanja produk segar, kendati swalayan/ritel modern tersebar luas di wilayah pemukiman.

Label Kemasan

Setiap produk kemasan yang beredar harus dilengkapi dengan label. Label merupakan media komunikasi, informasi dan edukasi antara produsen dan konsumen. Keterangan yang terlampir dalam label mengenai pangan dapat berbentuk gambar, tulisan atau kombinasi keduanya yang dimasukkan ke dalam, ditempelkan atau merupakan bagian dari kemasan.

Sebagai konsumen sangat penting untuk memperhatikan, membaca dan memahami informasi pada label yang tercantum di kemasan. Dengan membaca label, konsumen akan mengonsumsi pangan yang sesuai dengan keinginannya. Secara umum, informasi dasar pada label yang kerap diperhatikan konsumen sebelum membeli produk kemasan, antara lain; nama pangan olahan, berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat produsen atau importir yang memasukkan pangan ke wilayah Indonesia, bahan yang digunakan, tanggal kadaluarsa, kode produksi serta nomor registrasi.

Selain informasi tersebut, sebenarnya penting juga bagi konsumen untuk memperhatikan informasi nilai gizi, label halal, keterangan tentang petunjuk penyimpanan, serta peringatan.

Kesadaran konsumen dalam membaca label pangan kemasan memang cukup tinggi. Berdasarkan hasil survei YLKI, 96 persen responden membaca informasi yang tercantum pada kemasan ketika membeli produk, kendati tidak membaca secara detail. Hanya sebagian kecil responden yang tidak membaca label. Salah satu alasan tidak membaca label karena produk yang dibeli sudah rutin dikonsumsi.

Pertanyaan terbuka diberikan kepada responden terkait informasi apa saja dari label kemasan yang di baca, mayoritas responden menjawab tanggal kadaluarsa (545 orang). Sedangkan informasi terkait nomor registrasi produk (nomor pendaftaran produk) sangat kecil nilainya (2 orang). Padahal, nomor pendaftaran merupakan informasi penting yang menyatakan bahwa produk tersebut merupakan legal, terdaftar di Badan POM atau Dinas Kesehatan terkait. Selain itu, dengan adanya nomor registrasi, tanggung jawab dari produsen lebih jelas.

Survei juga menemukan bahwa mayoritas (449 responden) konsumen memilih produk kemasan dilandasi oleh faktor manfaat.

Bekal Makanan

Bagaimana cara anak makan dan apa yang dimakan oleh anak merupakan tanggung jawab orang tua sepenuhnya. Jika menginginkan anak yang sehat, perhatikanlah jenis, sumber dan proses dari makanan tersebut. Sebagai orang tua, menyiapkan makanan yang sehat merupakan tanggung jawab yang besar. Masih banyak masyarakat kita yang tidak mengetahui dengan jelas apa bekal makanan itu? Apakah dengan membawa kotak makan dan membeli makanan di kantin sekolah itu termasuk bekal? Atau jika kita membuatnya sendiri di rumah, itulah yang disebut bekal?  Membawa mie instan, nugget dan sosis juga bolehkah disebut sebagai bekal sehat? Definisi ini masih belum jelas.

Bekal makanan seharusnya terdiri dari makanan yang kaya akan gizi, dibuat sendiri di rumah dengan tidak menggunakan bahan-bahan kimia tambahan yang tentunya akan berbahaya bagi anak-anak kita dan keluarga yang mengonsumsinya.

Menyiapkan bekal makanan untuk anak dan keluarga merupakan tantangan tersendiri. Tidak sedikit orang tua, yang akhirnya memutuskan untuk memberikan uang jajan sebagai pengganti bekal makanan. Asupan gizi anak-anak paling banyak dibutuhkan pada siang hari. Bisa dibayangkan, jika anak-anak tidak membawa bekal, maka mereka akan jajan berbagai jenis makanan yang tidak sehat yang ada di lingkungan sekolah, misalnya: minuman dingin dengan beragam pewarna buatan, gorengan, makanan instan dan berbagai jenis makanan yang tidak terdaftar.

Dari hasil survei YLKI, sebanyak 84 persen responden membiasakan anggota keluarganya membawa bekal makanan dengan frekuensi yang bervariasi, yakni: setiap hari (58%); 2-3 kali dalam seminggu (21%) dan lainnya (kadang-kadang, tergantung permintaan anak) sebanyak 21%. Jenis makanan yang dijadikan bekal pun bervariasi, yaitu: mie instan, nugget, sosis, nasi dan lauk pauk, roti, susu kotak, biskuit, dan makanan ringan.

Jika melihat jenis bekal makanan yang dominan dengan makanan instan, pertanyaannya seberapa sering mereka memberikan asupan tersebut kepada buah hati mereka?. Hasilnya  93% dari 609 reponden mengonsumsi makanan kemasan cepat saji (instan) dengan frekuensi yang berbeda-beda, yaitu: 8 persen (43 responden) mengonsumsi setiap hari; 48 persen (274 responden) mengonsumsi dalam waktu 2-3 kali dalam seminggu; dan sisanya sekitar 44 persen (252 responden) mengonsumsi dengan rentang waktu yang berbeda-beda.

Pola konsumsi makanan kemasan instan yang tinggi, tentunya sangat berbahaya bagi kesehatan. Ini dikarenakan makanan instan banyak mengandung bahan pengawet, pewarna, pemanis buatan yang lama kelamaan akan terakumulasi dan berpotensi menimbulkan penyakit yang berbahaya bagi kesehatan, terutama anak-anak yang masih sangat rentan. Produk kemasan instan tidak hanya berdampak pada kesehatan tetapi juga bagi lingkungan, kemasan plastik, kaleng yang dibuang secara sembarangan dapat menimbulkan tumpukan sampah dan menyumbang polusi terbesar bagi climate change (perubahan iklim).

Alasan responden mengonsumsi makanan kemasan cepat saji (instan): 82% responden menjawab karena praktis dan cepat, 12% (69 responden) memberikan alasan lain yaitu: karena permintaan anak, bosan dengan menu yang ada, malas masak.

Fast Food Restaurant

Banyak ahli gizi mengelompokkan makanan fast food sebagai makanan junk food (makanan sampah), dalam artian makanan dan minuman dengan komposisi tidak seimbang karena tingginya kandungan lemak, garam, gula dan serat yang rendah.

Dari hasil survei ditemukan: 94% (574 responden) pernah mengunjungi Fast Food Restaurant (restoran siap saji) dengan frekuensi: 2 – 3 kali dalam seminggu (7%); sekali dalam seminggu (13%); sebulan sekali (47%) dan 33% dengan jawaban lain (jarang, setahun sekali).

Efek Samping

Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2010, masalah gizi pada anak-anak merupakan masalah yang mendasar di Indonesia, yang antara lain: kekurangan gizi, kelebihan berat badan dan obesitas. Data ini menunjukkan 14% anak mengalami kelebihan berat badan dan obesitas. Anak yang kegemukan cenderung membawa keadaan ini hingga dewasa, yang pada akhirnya berpotensi menimbulkan penyakit degeneratif, seperti jantung koroner, stroke, dan diabetes tipe 2.

Dari berbagai penelitian kesehatan di seluruh dunia, dampak dari junk food ini menunjukkan efek yang sangat buruk bagi kesehatan, terutama bagi anak-anak, karena dampak yang diberikan bersifat jangka panjang. Peningkatan masalah gizi berlebih diduga kuat karena pola makan yang salah. Maraknya iklan-iklan pangan yang ditujukan untuk anak, serta promosi-promosi pangan siap saji untuk anak, berperan mengacaukan pola makan anak.

Ketika responden ditanyakan mengenai pengetahuannya tentang efek samping dari makanan kemasan cepat saji (instan); makan di fast food restaurant dan makanan yang menggunakan pengawet, menyatkan 72% mengetahui dan menyebutkan efek samping yang bisa terjadi, seperti: kegemukan, menjadikan anak hiperaktif, menimbulkan penyakit kanker, mengakibatkan kolesterol tinggi, makanan tersebut juga mengandung banyak pengawet, lemak, garam, gula dan pemanis buatan.

Anak-anak yang tergila-gila dan “doyan” pada junk food disebut pula “generasi junk food”. Anak-anak kita akan menjadi generasi yang tidak sehat pada 20 – 30 tahun ke depan. Generasi tidak sehat, produktivitasnya rendah dan kurang mampu berkontribusi pada negara dan tidak mampu bersaing dengan negara-negara lain di dunia.

Simpulan dan Saran

Pemerintah seharusnya menyusun kebijakan, peraturan dan kode etik yang ketat sekaligus pengawasannya tentang periklanan/promosi pangan tidak sehat kepada anak-anak, sesuai dengan rekomendasi WHO, serta standar tentang bahan tambahan pangan sintetis/kimiawi (zat pewarna, pemanis, pengawet, penggurih, pengental, hormon, antibiotik).

Sementara bagi orang tua perlu untuk menyediakan pangan sehat di rumah dan menyiapkan bekal makanan sehat sebagai pengganti jajan. Anak-anak dilatih untuk kritis terhadap segala bentuk promosi/iklan pangan tidak sehat serta mulai mengurangi jajan junk food.

Semua lapisan masyarakat harus terlibat dalam mendukung kampanye Gerakan Indonesia Cinta Sehat melalui pola hidup sehat, konsumsi pangan yang sehat dan menghindari junk food.

NOOR JEHAN