Kegemukan dan obesitas meningkat secara signifikan selama beberapa dekade terakhir. Pada awalnya, obesitas muncul menjadi masalah di negara-negara maju. Yang dijadikan pemicu adalah gaya hidup. Kegemaran mengonsumsi makanan cepat saji (fast food) yang kerap disebut sebagai junk food, minuman soda, serta kurang gerak diyakini menjadi penyebab tingginya kasus kegemukan dan obesitas.

Namun, dalam dekade terakhir, anggapan bahwa obesitas merupakan masalah negara maju, sementara negara berkembang menghadapi masalah kurang gizi sudah tidak relevan lagi. Negara-negara berkembang menghadapi dua permasalahan sekaligus. Selain masalah rawan pangan, gizi buruk akibat kemiskinan yang masih belum teratasi, negara berkembang harus pula menghadapi munculnya kasus-kasus gizi lebih dan kegemukan yang meningkat dari tahun ke tahun.

Overseas Development Institute (ODI) di Inggris baru-baru ini melansir laporan yang menyatakan bahwa lebih dari sepertiga orang dewasa di seluruh dunia mengalami obesitas dan kelebihan berat badan. Dalam kurun waktu sekitar 20 tahun, ada lebih dari 900 juta penduduk dewasa di negara-negara berkembang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas, yang berarti meningkat 3 kali lipat semenjak tahun 1980-an. Sementara di negara maju, peningkatan hanya sebesar 1,7 kalinya.

ODI menyebutkan bahwa satu dari tiga orang di negara berkembang saat ini telah mengalami kelebihan berat badan dan berpotensi obesitas. Mereka berharap pemerintah negara-negara berkembang untuk bertindak agar rakyatnya menjalani pola makan sehat. Sebab pertumbuhan kegemukan dan obesitas di negara berkembang ini telah berada pada tingkat mengkhawatirkan. Akibatnya ada peningkatan jumlah penderita kanker tipe tertentu, diabetes, stroke dan serangan jantung yang sangat besar. Keadaan ini tentunya akan menjadi beban yang besar pula pada sistem kesehatan masyarakat.

Epidemik Global

Faktor-faktor memengaruhi berkembangnya kasus obesitas diantaranya adalah peningkatan pendapatan, urbanisasi dan perubahan gaya hidup, yang cenderung mengakibatkan pola makan yang tinggi kandungan hewani, lemak, garam, dan gula. Selain itu, berbagai pengaruh globalisasi lain seperti meningkatnya ketersediaan makanan olahan, perubahan pola makan yang ditampilkan melalui iklan dan media. Namun laporan ini juga tidak ingin menyimpulkan bahwa telah terjadi penyeragaman pola konsumsi, karena sesungguhnya masih ada ruang bagi kebijakan untuk memengaruhi pilihan pangan yang diambil.
Sayangnya, pemerintah belum melakukan upaya yang memadai untuk menghadapi krisis ini. Masih menurut laporan tersebut, para politisi masih enggan untuk menyentuh area ini. Selain itu, pengaruh lobi-lobi industri pangan sangat besar, serta ada kesenjangan yang lebar terkait kesadaran masyarakat tentang apa yang termasuk konsumsi yang sehat.

Sebenarnya, menurut ODI, ada banyak langkah yang dapat dilakukan pemerintah. Diantaranya dengan memberikan informasi dan melakukan kampanye yang dapat memengaruhi pilihan pangan konsumen, memberi insentif harga bagi produk pangan yang lebih sehat, pengaturan dan pembatasan iklan pangan.
Menurut laporan dari Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di Washington, lebih dari setengah warga dunia, mengalami obesitas dan tinggal di sepuluh negara. Kesepuluh negara tersebut adalah Amerika Serikat, Cina, India, Rusia, Brasil, Meksiko, Mesir, Jerman, Pakistan, dan Indonesia!.

Para penulis studi ini memperingatkan bahwa temuan tersebut menggambarkan kenaikan substansial dalam obesitas dan kelebihan berat badan di seluruh dunia sehingga diperlukan aksi nyata untuk memerangi dampak kesehatan global yang serius. Mereka beranggapan bahwa obesitas telah memengaruhi orang dari segala usia dan pendapatan, di hampir seluruh dunia. Selanjutnya laporan menyebutkan, dalam tiga dekade terakhir, tidak satu negara pun berhasil mengurangi tingkat obesitas. Target PBB untuk menghentikan peningkatan obesitas pada tahun 2025, akan sia-sia dan sangat ambisius jika tidak dibarengi dengan tindakan bersama.

Obesitas merupakan permasalahan yang muncul di dunia, bahkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikannya sebagai epidemik global. Prevalensinya meningkat tidak saja di negara-negara maju, tetapi juga di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Untuk itu dibutuhkan penanggulangan secara bersama dari seluruh negara, baik negara maju maupun negar berkembang.