Rezim Jokowi tampak kian getol mencabut subsidi di bidang energi, termasuk subsidi di sektor ketenagalistrikan. Terkait hal ini, rencananya di awal tahun 2016, pemerintah akan mencabut subsidi listrik yang semula mencapai Rp 66 trilyun, akan dipangkas hanya menjadi Rp 20 trilyunan saja. Pengguna listrik yang akan terdampak langsung adalah golongan 450-900 VA, Volt Ampere. Dengan kebijakan ini, pengguna listrik 450-900 akan berkurang 50 persenan, menjadi 20 jutaan saja.

Untuk menggorok subsidi listrik tersebut, pemerintah akan mengonversikan pengguna listrik 450-900 VA menjadi pengguna listrik non subsidi, 1300 VA, jika pengguna listrik 450-900 VA tersebut tidak mengantongi kartu miskin, atau bahkan rentan miskin. Terhadap rencana ini harus DIKRITISI beberapa hal, yaitu:

1. Harus ditolak jika kebijakan tersebut hanya untuk kedok terselubung bagi pemerintah dan PT PLN untuk menerapkan tarif listrik berdasar mekanisme pasar, atau tarif otomatis (adjusmen tarif). Selama ini tarif tersebut sudah diterapkan pada golongan 1300 VA ke atas. Jadi, dengan mengonversikan golongan 450-900 VA, adalah niat terselubung pemerintah untuk penerapan tarif adjusmen tersebut. Ini model tarif yang sangat pro pasar, dan tidak menjadikan kepentingan publik sebagai dasar kebijakan. Tetapi kepentingan pasar yang dikedepankan. Secara ekstrim ini biss menjadi tarif yang inkonstutisional, karena menjadikan peran negara tidak ada.

2. Sebenarnya, untuk menekan subsidi, akan lebih efektif dan efisien jika pemerintah menaikkan tarif pada golongan 450-900 VA secara bertahap. Lebih efektif, karena toh penghematan subsidinya juga akan signifikan, dan tidak memberatkan masyarakat pengguna 450-900 VA tersebut. Menaikkan tarif 450-900 VA juga cukup rasional, karena golongan ini belum pernah disesuaikan sejak 2003.

3. Bahkan, untuk melindungi kepentingan masyarakat miskin, untuk golongan 450 VA bisa digratiskan listriknya, dengan cara memberikan batas maksimum pemakaian kWh per bulannya. Model seperti ni bisa dicontoh dari Afrika Selatan, yang menggratiskan listrik pada rumah tangga miskin, jika pemakaiannya kurang dari 30 kWh per bulannya. Kelebihan dari 30 kWh akan dikenakan tarif progresif.

4. YLKI juga tidak sepakat, jika subsidi untuk golongan 450-900 yang termasuk kategori miskin atau rentan miskin, dengan cara pemberian cash money pada mereka. Cash money selain tidak efektif, juga berpotensi untuk disalahgunakan, misalnya untuk beli pulsa, atau bahkan beli rokok. Artinya niat pemerintah untuk melindungi masyarakat miskin tidak akan tercapai. Sedangkan, beban pemakaian listriknya akan sangat berat, karena terjadi kenaikan yang lebih dari 100 persen dari pemakaian awal.

5. Dari sisi momen, penerapan tarif seperti ini juga tidak tepat, di tengah masih lesunya pertumbuhan ekonomi, dan menurunnya daya beli masyarakat. Kenaikan tarif listrik tentu akan berpengaruh terhadap daya beli.

Demikian, terima kasih atas dimuatnya siaran pers ini.

Wassalam,

Tulus Abadi,
Ketua Pengurus Harian YLKI