Tinggal di rumah susun sudah menjadi pilihan sebagian warga di kota besar. Sejumlah alasan melatarbelakangi pilihan masyarakat, seperti; dekat dengan pusat kota, fasilitas lengkap, serta sistem keamanan yang lebih terjamin.

Namun di balik berbagai kemudahan di atas, bukan berarti tinggal di rumah susun bebas dari masalah. Sejumlah keluhan penghuni rumah susun sudah menjadi hal yang jamak seiring dengan semakin banyaknya warga masyarakat tinggal di rumah susun. Jika dicermati, beberapa masalah yang berpotensi muncul dan perlu diantisipasi ketika tinggal di rumah susun.

Pertama; Pembentukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Rumah Susun (P3RS). Menurut Undang-undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, P3RS harus terbentuk paling lambat satu tahun sejak serah terima unit satuan rumah susun. Ketentuan ini perlu diperjelas, khususnya menyangkut: (1) pengertian serah terima unit disini, apakah dalam pengertian serah terima secara fisik, atau serah terima dalam pengertian legal, ada transfer of title / levering; (2) jangka waktu satu tahun, dihitung sejak unit pertama diserahterimakan atau setelah semua unit diserahterimakan; (3) dalam pembentukan P3RS, difasilitasi pengembang, tetapi pada saat bersamaan, sejumlah pengembang sengaja tidak menjual semua unit rumah susun, sehingga ada kecenderungan dari Pengembang untuk menempatkan orang-orangnya duduk dalam kepengurusan P3RS.

Kedua; Kenaikan besaran service charge. Tinggal di rumah susun dimanjakan dengan berbagai fasilitas, tetapi pada saat bersamaan kepada penghuni dibebani kewajiban membayar service charge. Dari biaya service charge tersebut, badan pengelola dalam melakukan perawatan dan perbaikan berbagai fasilitas yang dinikmati bersama-sama yang ada di kompleks rumah susun.

Persoalan yang sering muncul adalah ketika terjadi kenaikan biaya service charge. Selalu ada tarik menarik antara penghuni dengan P3RS, khususnya tentang perlu tidaknya kenaikan service charge, soal besaran kenaikan service charge dan soal transparansi dan akuntabilitas badan pengelola/P3RS kepada semua penghuni.

Hal yang harus dipertegas adalah dalam menentukan besaran service charge dihitung dengan prinsip full cost recovery atau dimungkinkan badan pengelola memungut keuntungan (margin). Jika diperbolehkan, berapa persen margin yang dapat ditoleransi. Dalam praktik, P3RS menunjuk badan pengelola. Dalam menunjuk badan pengelola dapat berupa penunjukkan langsung atau melalui tender terbuka. Selama ini pada umumnya badan pengelola ditunjuk langsung oleh P3RS dan dalam beberapa kasus badan pengelola berupa PT yang ada afiliasi dengan pengembang yang membangun rumah susun.

Ketiga, Kenaikan besaran tarif listrik. Salah satu kebutuhan pokok penghuni rumah susun adalah listrik. Dari sumber tenaga listrik, pada umumnya mengandalkan pasokan utama dari PT PLN, dan diback up dengan sumber tenaga listrik cadangan berupa generator / genset.

Tipe pasokan tenaga listrik dari PT PLN adalah masuk kategori pelanggan curah, dengan demikian yang berhubungan dengan PT PLN adalah badan pengelola, tidak ada kontrak khusus antara penghuni rusun susun dengan PT PLN.

Soal perbedaan tarif antara tarif yang dikenakan PT PLN kepada badan pengelola, dengan tarif yang dikenaikan badan pengelola kepada penghuni sering menjadi objek sengketa antara penghuni dengan P3RS / badan pengelola.

Dari pihak P3RS berdalih, kelebihan biaya tagihan listrik dipakai untuk pemeliharaan / perbaikan jaringan, serta untuk membiayaan biaya listrik fasilitas bersama. Bisa saja biaya listrik sama dengan tagihan PT PLN, dengan konsekuensi akan dibebankan pada biaya service charge.

Dengan demikian, dalam kasus besaran tarif listrik di rumah susun, perlu ada transparansi dan akuntabilitas, sehingga tidak ada saling curiga antara penghuni dengan P3RS / badan pengelola.

Keempat, Praktik monopoli layanan akses internet. Layanan akses internet khususnya berbasis fixed broadband sudah menjadi kebutuhan penghuni rumah susun, baik dalam konteks untuk kebutuhan komunikasi, layanan data dan tv kabel. Ada dua isu dalam layanan akses internet di rumah susun. Isu pertama, apakah penghuni rumah susun punya pilihan terhadap akses layanan internet di rumah susun. Isu kedua, apabila ada praktik monopoli layanan akses internet, apakah penghuni rumah susun sudah mendapatkan layanan sesuai dengan tarif yang dibayar kepada internet service provider.

Sejumlah rumah susun di Jakarta hanya ada satu pilihan akses internet, biasanya perusahaan satu group dengan pengembang yang membangun rumah susun. Alasan hanya ada satu pilihan akses internet, karena perusahaan tersebut yang membangun jaringan dalam kompleks rumah susun tersebut, sehingga pantas mendapatkan hak eksklusif.

Hal penting yang harus dipastikan, apabila akses internet dimonopoli satu penyedia / provider, tidak menyalahgunakan posisi monopoli untuk memperdaya penghuni rumah susun dalam bentuk tarif yang eksesif, sehingga provider menikmati excessive margin dengan cara yang tidak terbuka.

Kelima, Sertifikasi satuan rumah susun, khususnya sertifikasi rumah susun non-hunian. Undang-undang No.20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, membedakan rumah susun hunian dan rumah susun campuran, tetapi tidak menjelaskan secara spesifik rumah susun campuran. Undang-undang Rumah Susun juga tidak secara spesifik mengatur rumah susun non-hunian.

Tidak adanya pengaturan khusus rumah susun non-hunian menimbulkan ketidakpastian di lapangan, khususnya menyangkut penerbitan sertifikat satuan rumah susun non-hunian, karena banyak pengembang yang sudah melakukan transaksi dengan konsumen untuk rumah susun non-hunian.

Keenam, Peraturan Daerah tentang Pertelaan. Sertifikat satuan rumah susun tidak dapat diproses karena pemerintah kabupaten / kota di lokasi dibangunnya rumah susun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Pertelaan. Untuk itu harus dipastikan, pemerintah kabupaten / kota dimana lokasi dibangunnya rumah susun sudah memiliki Perda Pertelaan. Ini penting, karena Badan Pertanahan Nasional hanya bisa menerbitkan sertifikat satuan rumah susun apabila lokasi dibangunnya rumah susun sudah memiliki Perda Pertelaan.

Penulis : Sudaryatmo