Wajah transportasi di Indonesia tercoreng! Itulah kesimpulan untuk menggambarkan putusan Mahkamah Agung terkait sepeda motor.
Pasalnya, Mahkamah Agung (MA) telah mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Gubernur No. 195 Tahun 2014 tentang Pembatasan Lalu Lintas Sepeda Motor di Jakarta. Atas dikabulkannya permohonan uji materi tersebut maka larangan sepeda motor melintas di ruas jalan MH Thamrin-Medan Merdeka menjadi gugur. Putusan MA menganulir Pergub dimaksud.
Jika pendekatannya populis, maka putusan MA tersebut mempunyai bobot yang tinggi. Bahkan seorang Gubernur Anies pun menyambut baik putusan tersebut. Bagi Gubernur Anies pengguna jalan mempunyai kesetaraan yang sama. Tidak ada diskriminasi. Bahkan sangat boleh jadi putusan MA tersebut menyerap atas sikap Gubernur Anies.
Namun jika mengacu pada pertimbangan nalar yang “waras” dari sisi managemen transportasi publik, putusan MA tersebut telah menjungkirbalikkan banyak hal. Putusan MA memundurkan beberapa langkah upaya penataan pemerintah di bidang transportasi. Putusan MA juga bisa menjadi palu godam untuk mematikan angkutan umum, yang saat ini sudah nyaris sekarat.
Oleh karena itu, maka: pertama, putusan MA bisa jadi mengalami cacat yuridis. Sebab MA telah memutus suatu perkara tidak menggunakan pisau analisa UU organik, tetapi menggunakan UU lain yang tidak berkorelasi. Seharusnya dalam memutus perkara uji materi tersebut, MA menggunakan substansi UU LLAJ, bukan UU tentang HAM. Substansi Pergub 195/2014 bukan melarang warga Jakarta bergerak/melintas di jalan MH Thamrin. Yang dilarang adalah menggunakan sepeda motor, bukan melintasi jalan Thamrin. Sedangkan sepeda motor hanyalah sarana. Untuk bergerak/melintas di ruas jalan dimaksud bisa menggunakan moda transportasi yang lain, terutama angkutan umum.
Kedua, alasan bahwa larangan sepeda motor tidak adil karena belum ada angkutan umum yang memadai, juga tidak tepat. Senyaman apapun pengguna kendaraan pribadi tidak akan pernah meninggalkan kendaraan pribadinya dan kemudian berpindah ke angkutan umum, jika tidak dibarengi dengan upaya pengendalian kendaraan pribadi. Termasuk sepeda motor.
Ketiga, klaim bahwa sepeda motor diberlakukan diskriminatif justru terbalik. Sebab dalam konteks upaya pengendalian kendaraan pribadi, sepeda motor justru diistimewakan. Sebagai contoh, saat kendaraan roda empat diberlakukan three in one, sepeda motor bebas. Saat diberlakukan ganjil genap, sepeda motor juga lolos. Bahkan untuk implementasi jalan berbayar (ERP), sepeda motor juga dibebaskan. Jadi sepeda motor malah mendapatkan berbagai keistimewaan, bukan diskriminasi.
Putusan MA juga banyak mengantongi cacat bawaan yang lain. MA tidak melihat data faktual bahwa sepeda motor adalah moda transportasi yang paling tidak aman. Terbukti 76 persen kecelakaan lalu lintas melibatkan sepeda motor dengan korban fatal, cacat tetap dan meninggal dunia. Apakah MA tidak tahu bahwa lebih dari 30.000 orang Indonesia meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas dan mayoritas adalah pengguna sepeda motor?
Putusan MA juga telah menegasikan berbagai permasalahan sosial yang ditimbulkan oleh kredit sepeda motor. Promosi kredit sepeda motor begitu jor-joran. Iming-iming uang muka dan cicilan murah, menyerimpung konsumen yang rata-rata masyarakat menengah bawah. Fenomena kredit sepeda motor dibanyak tempat telah menimbulkan konflik horisontal antara konsumen, dan dengan debt collector. Tragisnya lagi, menurut data BPS, leasing sepeda motor telah memicu tingkat kemiskinan di rumah tangga miskin.
Dengan demikian, substansi putusan MA terhadap Pergub No. 195/2014 banyak mengantongi cacat bawaan, baik dari sisi hukum, sosial, ekonomi dan tentu saja dari sisi managemen transportasi publik. Sangat disesalkan hakim selevel MA menjatuhkan putusan dengan pertimbangan hukum yang sangat mentah. Tanpa dasar argumentasi yang memadai.
Hikmah dari putusan MA ini, pemerintah harus lebih serius dalam merevitalisasi angkutan umum, dan juga mewujudkan angkutan umum masal. Dan mencari solusi kebijakan lain untuk mengendalikan keberadaan sepeda motor. Tanpa hal itu maka wajah transportasi di Indonesia akan makin carut-marut, semrawut, tingkat safety yang sangat rendah.
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi
0 Comments on "Refleksi transportasi : “CACAT BAWAAN” Putusan Mahkamah Agung Soal Sepeda Motor"