Hari Tanpa Tembakau se Dunia atau World No Tobacco Day (WCRD). Itulah kredo yang diinisiasi oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada setiap 31 Mei. Seluruh dunia memperingatinya dengan gegap gempita. Mengingat, 90 persen komunitas negara di dunia  telah menyatakan “perang baratayudha” pada tembakau, sebagai musuh bersama. Dan hal itu tecermin dari sikap politik dan kebijakan nasionalnya, berupa ratifikasi/aksesi FCTC (Frame Work Convention on Tobacco Control). Sebuah kerangka hukum hasil besutan WHO, yang kini telah menjadi hukum internasional, sejak 2004 lalu. FCTC telah diratifikasi/diaksesi oleh lebih dari 188 negara di dunia! Ratifikasi FCTC oleh sebuah negara, menjadi parameter sekaligus potret keberadaban negara tersebut memperlakukan rokok, tembakau.

Pertanyaannya, bagaimanakah Indonesia memperlakukan FCTC?

Secara historis, sejak 1998, Indonesia adalah salah satu negara penggagas utama lahirnya FCTC. Delegasi Indonesia menjadi legal drafter dalam pembahasan FCTC dalam INB Meeting di Jenewa, dan juga di berbagai negara. Termasuk INB Meeting di Indonesia (2002) pembahasan FCTC. Dan pada Wolrd Health Assembly di WHO, yang merupakan klimaks pembahasan FCTC, Indonesia pun menyetujui seluruh isi/substansi FCTC, tanpa kompromi! Jadi dalam konteks kesejarahan pembahasan FCTC, Indonesia mempunyai kontribusi sangat signifikan. Indonesia menjadi promotor negara beradab!

Tetapi, pendulum sejarah FCTC bagi Indonesia, berjalan anti klimaks. Peran Indonesia terjun bebas ke titik nadir. Menjadi negara yang paling tidak beradab. Pasalnya, Indonesia menjadi satu-satunya negara besar penghasil tembakau di dunia yang tidak menandatangani FCTC, dan tidak meratifikasi/mengaksesinya hingga sekarang! Jadi betapa paradoksnya peran Indonesia, semula menjadi salah satu negara promotor tetapi setelah disepakati dan disahkan, Indonesia lari tunggang langgang. Penandatanganan, sebagai bentuk penghormatan dan political endorsment terhadap FCTC, pun tidak dilakukan. Pada titik inilah aksi Indonesia secara diplomatik telah memporak-porandakan fatsun politik internasional. Sebuah sikap politik yang sangat memalukan. Rezim terus berganti, dari mulai Presiden Megawati, Presiden SBY hingga Presiden Joko Widodo, bergeming, tak beringsut sedikit pun dalam menyikapi FCTC.

Sikap kampungan Pemerintah Indonesia akhirnya terejawantahkan dalam kebijakan nasional mengendalikan konsumsi rokok. Kini lebih dari 35 persen dari total populasi penduduk Indonesia adalah perokok. Pertumbuhan perokok Indonesia di kalangan anak-anak dan remaja adalah tercepat di dunia. Dan dua dari tiga laki-laki dewasa di Indonesia adalah perokok. Pada tataran global, jika dilihat pada ratio perokok per populasi maka jumlah perokok di Indonesia adalah tertinggi di dunia. Tetapi jika dilihat  jumlah total perokoknya, jumlah perokok di Indonesia adalah peringkat ketiga di dunia, setelah China dan India.

Indonesia adalah syurga jannatunnai’im (meminjam istilah penyair Taufiq Ismail) bagi industri rokok. Harga rokok di Indonesia adalah termurah di dunia, semurah permen. Bahkan bisa dijual ketengan pula. Hal ini dipicu oleh cukai rokok di Indonesia yang juga terendah di dunia. Harga dan cukai rendah itu, masih ditopang dengan pola penjualan rokok yang amat bebas, tanpa ada pengaturan dan kendali sama sekali. Menjual rokok sama dan sebangun dengan menjual sembako. Padahal rokok adalah barang yang dikenai cukai, yang seharusnya tidak bisa dijual secara bebas. Cukai adalah sin tax alias pajak dosa, yang dikenakan pada barang yang berdampak negatif baik pada pemakainya, orang lain dan bahkan lingkungan.

Iklan dan promosi rokok di Indonesia juga begitu masifnya, baik di televisi, media luar ruang, media masa cetak, juga via sales promotion girl yang bergentayangan ke pojok kota hingga desa. Kini Indonesia adalah satu-satunya negara yang masih melegalkan iklan rokok di televisi dan media elektronik lainnya. Bandingkan dengan di Eropa, iklan rokok telah dilarang sejak 1960, dan di negeri Paman Sam iklan rokok telah dilarang sejak 1973. Di Israel, negeri zionis itu bahkan mengharamkan rokok dan iklan rokok. Sejatinya, jika mengacu pada regulasi dan filosofi barang yang dikenai cukai, iklan rokok adalah bentuk pelanggaran regulasi dan etika.

Regulasi pengendalian tembakau di Indonesia yang agak mendingan adalah peringatan kesehatan bergambar pada bungkus rokok, sebesar 40 persen di depan dan di belakang bungkus rokok. Namun sialnya, peringatan bergambar itu tertutup pita cukai, sehingga pesan bahaya rokoknya tidak terbaca oleh konsumen yang menjadi korban rokok. Sepertinya ada konspirasi antara industri rokok dengan pemerintah untuk hal tersebut.

Saat ini Indonesia benar-benar telah terkepung oleh industri rokok nasional dan multi nasional. Hal itu makin eksis manakala industri rokok multi nasional telah mengakuisisi industri rokok nasional. PT  HM Sampoerna telah diakuisisi oleh PT Phillips Morris Internasional, dan anak perusahaan PT Gudang Garam juga telah diakuisisi oleh Japan Tobacco Company. Dan akan menyusul perusahaan nasional lainnya.

Begitu masifnya cengkeraman industri rokok, dan di sisi lain begitu lemahnya regulasi pengendalian tembakau di Indonesia; mengakibatkan dampak eskalatif konsumsi rokok di Indonesia. Dampak negatif konsumsi rokok yang menggurita, terbukti menjadi salah satu pemicu penyakit utama yang harus ditanggung BPJS. Data BPJS mengindikadikasikan dengan kuat bahwa penyakit utama yang harus dicover BPJS adalah penyakit katastropik, sebuah penyakit yang dipicu oleh gaya hidup; seperti stroke, jantung koroner, darah tinggi, dan diabetes mellitus. Konsumsi rokok menjadi salah satu tersangka utama pencetus penyakit tersebut. Dan sekuat apapun model pembiayaan kesehatan, seperti BPJS, secara finansial akan bleeding terus, jika harus menanggung berbagai penyakit karena faktor gaya hidup itu. Salah satunya adalah gaya hidup merokok.

Konsumsi rokok yang berlebihan di rumah tangga miskin, mengakibatkan mereka abadi dengan status kemiskinannya. Pasalnya, sebagian besar pendapatan mereka tersedot untuk membeli rokok. Laporan BPS setiap tahunnya, dan juga riset kesehatan dasar, konsumsi rokok di rumah tangga miskin menduduki rangking kedua setelah konsumsi beras. Konsumsi rokok jauh mengalahkan alokasi untuk biaya kesehatan, pendidikan bahkan lauk-pauk. Konsumsi rokok telah memiskinkan masyarakat miskin.

Entah sampai kapan para petinggi rezim di negeri ini bisa melepaskan diri dari kooptasi Industri rokok. Sementara, hajatan demokrasi lima tahunan, seperti pilkada, pemilu dan pilpres akan makin menguatkan fenomena cengkeraman industri rokok pada para politisi, eksekutif dan legislatif. Dan masyarakat akan makin terjerembab pada ketergantungannya untuk mengonsumsi rokok, tak peduli dirinya jatuh sakit dan jatuh miskin karena rokok. Toh kalau sakit juga akan ditanggung oleh BPJS secara gratis. Duh, betapa masih primitifnya bangsa ini dalam memperlakukan produk adiktif bernama rokok. Betapa tidak beradabnya! Dan entah kapan Indonesia akan menjadi bagian (parties) dari FCTC, sebuah kerangka hukum internasional, yang dulu pemerintah Indonesia ikut membidaninya, ikut mendesainnya. Jangan biarkan bangsa ini menjadi  uncivilized nation karena dominannya cengkeraman racun adiksi bernama rokok. ***

*)Tulisan ini juga dapat dibaca di Indonesiana.Tempo.co

TULUS ABADI
Ketua YLKI