RUU Pertembakauan secara ideologis juga bermasalah. Rancangan itu ingin mendorong sekeras mungkin agar produksi rokok meningkat tajam tanpa batas

Rupanya nafsu para wakil rakyat belum juga surut untuk mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertembakauan. DPR memperpanjang masa pembahasannya dan bertekad mengesahkannya pada akhir masa sidang 2018 (Koran Tempo, 4 Desember 2018). Ini merupakan perpanjangan keempat pada tahun ini.

Perpanjangan ini bisa dipahami dalam perspektif kontestasi politik pemilihan umum. Sebagaimana Presiden Joko Widodo, Dewan Perwakilan Rakyat pun ingin menggulirkan regulasi populis untuk konstituennya. Industri rokok merupakan konstituen utama DPR. Perpanjangan pembahasan dan target pengesahan RUU Pertembakauan patut diduga menjadi “tambang uang” oleh hampir semua partai politik. Partai butuh “gizi” untuk modal kampanye, sementara industri rokok butuh kepentingan bisnisnya diakomodasi.

Namun upaya DPR untuk mengesahkan RUU Pertembakauan merupakan aksi blunder. Rancangan itu mengantongi beberapa cacat bawaan yang amat kompleks, baik dalam proses tata tertib pembuatan undang-undang, konteks ideologis, sosiokultural, ekonomis, maupun fatsun politik internasional. Dari sisi proses, amat jelas dan terang benderang bahwa RUU Pertembakauan disorongkan industri rokok, khususnya industri rokok besar berskala internasional (multinasional). Bahkan awalnya RUU Pertembakauan disorongkan ke Badan Legislasi tanpa disertai naskah akademis. Selain itu, pembahasannya banyak dilakukan bukan di gedung DPR, melainkan di beberapa hotel bintang lima di Jakarta. Jadi dalam hal ini saja sudah terjadi potensi pelanggaran prosedural yang amat serius.

RUU Pertembakauan secara ideologis juga bermasalah. Rancangan itu ingin mendorong sekeras mungkin agar produksi rokok meningkat tajam tanpa batas. Jika dikaitkan dengan peta jalan industri tembakau versi Kementerian Perindustrian, produksi rokok nasional ditargetkan mencapai 500 miliar batang per tahun. Saat ini produksinya tidak kurang dari 350 miliar batang per tahun.

Upaya RUU Pertembakauan yang ingin mengerek produksi rokok adalah bentuk antiklimaks terhadap aspek ekonomi, sosial, dan kesehatan. Data dan fakta menunjukkan konsumsi rokok telah menjadi instrumen ampuh dalam pemiskinan masyarakat. Belum lagi dampak negatif rokok bagi kesehatan.

Jika disahkan, rancangan itu akan melibas tak kurang dari 20-an regulasi. Bahkan yang paling ekstrem akan merontokkan Undang-Undang Kesehatan, yang mengkategorikan tembakau sebagai komoditas adiktif. Ingat tentang fenomena (nyaris) hilangnya ayat tembakau pada Undang-Undang Kesehatan? Kini penghilangan itu akan dilegalkan melalui RUU Pertembakauan.

Dalam konteks fatsun politik internasional, Indonesia menjadi sorotan global. Pasalnya, manakala 90 persen lebih negara di dunia telah meratifikasi Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau (FCTC), Indonesia hingga kini masih bergeming. Boro-boro meratifikasinya, menandatanganinya pun tidak. Padahal Indonesia adalah pionir utama penggagas FCTC (Frame Work Convention on Tobacco Control).

Jadi, jika DPR berkeras mengesahkan RUU Pertembakauan, itu adalah upaya efektif untuk menggali kubur bagi masyarakat Indonesia. Proses dehumanisasi akibat konsumsi rokok akan makin mewabah. Selain produksinya yang meningkat tajam, iklan rokok bakal makin menggila, kawasan tanpa rokok dihilangkan, dan peringatan kesehatan berganti menjadi tulisan saja.

Kebijakan kenaikan cukai rokok akan dikendalikan di bawah ketiak industri rokok. Undang-Undang Cukai, sebagai dasar pengendali harga rokok, akan dirontokkan RUU Pertembakauan. Presiden Joko Widodo seharusnya berani melawan nafsu DPR untuk mengesahkan RUU Pertembakauan.

Artikel ini pertama kali dimuat di Koran Tempo; Kamis 20 Desember 2018 dan Tempo.co

 

TULUS ABADI
KETUA PENGURUS HARIAN YLKI