Namun, manakala banyak negara mengerek harga BBM nya dan sebagian malah mengalami krisis energi, Presiden Jokowi justru tak menaikkan harga BBM.
Boleh jadi perang Rusia versus Ukraina ibarat Goliat melawan David.Tetapi, dampak perang kedua negara bertetangga itu meraksasa, seluruh dunia terkena imbasnya, khususnya untuk komoditas pangan dan energi.
Tak terkecuali Indonesia. Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Menteri Keuangan Sri Mulyani pun tampak berkerut keningnya, tersebab subsidi untuk energi bengkak hingga Rp520 triliunan. Angka nominal ini akan terus bengkak manakala perang terus eskalatif dan tidak ada transformasi kebijakan harga bahan bakar minyak (BBM).
Dalam banyak kesempatan, Presiden Jokowi berpesan agar masyarakat mewaspadai melonjaknya harga pangan dan energi oleh akibat dampak global perang tersebut. Presiden Jokowi mengaku berat untuk menanggung harga BBM jenis pertalite, yang kini menjadi BBM penugasan (disubsidi), setelah BBM premium dihapus.
Namun, manakala banyak negara mengerek harga BBM nya dan sebagian malah mengalami krisis energi, Presiden Jokowi justru tak menaikkan harga BBM. Contoh, BBM setara pertamax di Singapura harganya Rp32.000, di Jerman Rp31.000, dan di Thailand Rp20.000 perliter. Krisis energi juga melanda Amerika, Eropa, Jepang, Vietnam, India, dan yang terparah adalah Sri Lanka. Negeri jiran India ini mengalami gagal bayar utang, listrik padam, dan kelangkaan BBM.
Upaya Presiden Jokowi yang tak menaikkan harga BBM dan memilih opsi pengendalian BBM bersubsidi bisa dimaknai beberapa hal. Opsi tersebut cukup rasional, demi menjaga daya beli masyarakat (purchasingpower), yang nyaris ambruk oleh dampak pandemi dan melambungnya harga pangan.
Jika harga BBM dinaikkan, daya beli masyarakat semakin berdarah-darah. Namun, tak menaikkan harga BBM, sama artinya melanggengkan subsidi BBM bagi kelas menengah atas. Hasil kajian Bank Dunia menyatakan 40- 70% subsidi BBM disedot pemilik kendaraan bermotor pribadi roda empat.
Bahkan, gas elpiji 3kg nyaris 30%-nya juga dinikmati kelas menengah atas. Secara empirik hal ini merupakan ketidakadilan ekonomi. Bank Dunia merekomendasikan agar pemerintah menaikkan harga BBM.
Patut kita sorot pula, dana untuk menyubsidi BBM yang mencapai Rp520 triliunan itu muasalnya darimana; dana APBN-kah atau dana utang? Jika dari APBN, tentu imbasnya mengorbankan alokasi anggaran lain. Dan, tragisnya, jika subsidi BBM itu dipasok dari utang, ingat, utang pemerintah kini menggunung hingga Rp7.000 triliun. Kita tidak ingin negeri ini ambruk, sebagaimana SriLanka yang gagal bayar utang sebesar Rp723 triliunan. Subsidi BBM yang menggunung itu adalah sesat pikir.
Lalu, bagaimana kita menyikapi kebijakan Presiden Joko Widodo yang akan membatasi konsumsi BBM bersubsidi, bahkan akan mengendalikan konsumsi gas elpiji 3kg?
Jika merujuk pada konfigurasi persoalan diatas, kebijakan pengendalian BBM bersubsidi adalah masuk akal. Barang bersubsidi, apapun jenisnya, harus dibatasi dan dikendalikan. Merujuk pada UU No30 Tahun 2007 tentang Energi menegaskan subsidi energi itu adalah hak masyarakat yang tidak mampu (masyarakat miskin). Apakah pengguna (pemilik) kendaraan bermotor pribadi roda empat adalah masyarakat tidak mampu? Untuk pengguna sepeda motor, mungkin 20%-nya adalah masyarakat rentan.
Harga keekonomian BBM jenis pertalite adalah dikisaran Rp17.000 perliter. Jadi, pemerintah menyubsidi lebih dari Rp8.000 perliter. Juga BBM jenis solar, yang masih dibanderol dengan Rp5.500 perliter, harga pokoknya juga dikisaranRp18.000-an per liter. Pun BBM jenis pertamax dan pertamax turbo, masih jauh dibawah biaya pokok. Sementara pertamax dan pertamax turbo bukan BBM penugasan. Sebagai perbandingan, lihatlah harga BBM setara pertalite (RON90) di SPBU non-Pertamina, harganya mencapai Rp16.800 perliter.
Pengendalian berbasis digital, misalnya, menggunakan MyPertamina, juga masuk akal. Ribut-ribut soal aplikasi MyPertamina ini dipicu oleh kurang tepatnya komunikasi publik yang disampaikan para pemangku kepentingan seperti pemerintah dan Pertamina. Sebab, aplikasi tersebut hanya untuk registrasi dan selanjutnya masyarakat akan mendapatkan barcode saat membeli BBM bersubsidi. Ini pun (untuk sementara) hanya berlaku bagi pemilik roda empat. Bisa jadi, nantinya ada “penjatahan” BBM bersubsidi.
Pada akhirnya, sejak Orde Baru hingga rezim sekarang, subsidi BBM telah menjadi “kutukan politik”. Ribuan triliun rupiah telah digelontorkan untuk subsidi BBM, yang sejatinya merupakan bentuk ketidakadilan ekonomi, bahkan merupakan bentuk ketidakadilan ekologis.
Fenomena krisis energi dan bahkan perubahan iklim global (dan berbagai protokol internasional telah diratifikasi Presiden Jokowi), seharusnya menjadi dorongan kuat untuk mengendalikan konsumsi BBM, khususnya BBM bersubsidi.
Tulus Abadi Ketua Pengurus Harian YLKI Artikel ini telah diterbitkan di KoranSindo, Sabtu; 9 Juli 2022
0 Comments on "Urgensi Pengendalian BBM Bersubsidi"