Peran perlindungan konsumen juga perlu memastikan bahwa konsumen dari kelompok strata paling bawah sekalipun, tetap harus terpenuhi kebutuhan dasarnya.
Agus Sujatno
Tahun 2024 belum genap satu semester, tetapi sejumlah peristiwa negatif dibidang perlindungan konsumen telah terjadi. Kasus remaja bunuh diri karena tejerat dan teror pinjaman online di Semarang, kecelakaan bus mudik lebaran yang menewaskan 7 orang penumpang, naiknnya harga eceran tertinggi (HET) beras bulog Rp.1.500 – Rp.2.500, dan minyak goreng Minyak Kita menjadi Rp.15.000, persoalan parkir liar yang memalak konsumen mini market, PPN naik menjadi 12 persen, perubahan kebijakan pembatasan barang bawaan penumpang maskapai dari luar negeri. Mangkraknya pembangunan perumahan, ratusan orang yang menyoal refund di e-commerce. Dan daftar ini akan lebih panjang lagi jika ditelusuri.
Pertanyaannya, dimana posisi YLKI setelah dilahirkan 51 tahun yang lalu demi melindungi kepentingan konsumen? Apa yang sudah dilakukan YLKI? Setengah abad lebih satu tahun, tentu bukan waktu yang pendek. Sebagai pionir dari lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat dengan segala pasang surutnya telah dilewati YLKI. Begitu pula dengan problematika perlindungan konsumen juga telah mengalami dinamika yang luar biasa, baik dari segi kuantitas maupun kualitas masalah perlindungan konsumen.
Pesatnya peetumbuhan industri serta ditunjang kemajuan teknologi, menjadikan persoalan perlindungan konsumen makin kompleks. Bahkan masalah perlindungan konsumen bukan lagi menjadi masalah nasional semata, melainkan masalah internasional.
Berpijak dari konfigurasi permasalahan konsumen yang terus mengalami peningkatan limitasi, diperlukan pemetaan dan klasifikasi persoalan perlindungan konsumen. Selanjutnya hasil pemetaan tersebut yang akan menjadi acuan dalam perlindungan konsumen mendatang. Secara luas, UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) mengklasifikasikan upaya perlindungan konsumen dalam 3 kategori (UNCTAD dalam J.Widiantoro dkk 2020).
Pertama; sistem perlindungan konsumen yang meliputi kebijakan, aturan hukum, kelembagaan dan sturktur yang membentuk kerangka sistem perlindungan konsumen. Dalam konteks kebijakan serta aturan hukum, Indonesia telah memiliki Undang-undnag No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Kehadiran UUPK di satu sisi menjadikan posisi konsumen secara legal formal lebih kuat, karena hak-hak konsumen menjadi hak hukum yang diatur dan dilindungi undang-undang. Namun secara faktual, keberadaan 25 tahun UUPK belum dirasakan manfaatnya secara nyata oleh konsumen. Terlebih dalam konteks ekonomi digital, UUPK kerap mandul dalam mengurai benang kusut persoalan.
Pun demikian dengan kelembagaan dan kerangka perlindungan konsumen, masih jauh panggang dari api. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) yang menurut UUPK didirikan di setiap Pemerintah Kota/Kabubaten, justru mengalami degradasi dengan belitan permasalahan mendasar. Kewenangan yang awalnya ada di kabupaten kota, ditarik ke tingkat provinsi. Artinya, perlindungan konsumen (termasuk BPSK) menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Tingkat Provinsi (UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah), sedangkan Pelaksanaan/kedudukan BPSK di Kab/Kota. Di sisi lain masih terdapat stakeholders/pimpinan daerah yang tidak familiar dengan BPSK sehingga tidak menjadi prioritas dalam pengalokasian anggaran. Berdasarkan laporan Ditjend PKTN Kementrian Perdagangan (2022), sebanyak 186 BPSK terbentuk, tetapi hanya 74 yang dianggarkan berperasional. Bandingkan dengan jumlah penduduk (konsumen) Indonesia yang mencapai 275 juta jiwa.
Kedua perlindungan konsumen di pasar. Serentetan tragedi pengabaian hak konsumen, seperti yang sebagian kecil ditulis di awal artikel ini menjadi bukti konkrit bahwa konsumen ada di dalam derasnya pusaran ekonomi yang berkiblat pada pasar. Konsumen lebih banyak menjadi korban, dan sebagai korban untuk mencari tempat hanya sekedar mendengarkan keluh kesahnya saja acapkali bukan hal yang mudah. Minimnya akses poin pengaduan yang secara aktif mendengar dan menindaklanjuti persoalan konsumen menjadi salah satu faktornya. Dalam beberapa kasus, seperti kasus jeratan pinjol, konsumen yang putus asa dan tidak punya tempat berbagi cerita harus mengakhiri hidupnya.
Dalam konteks ini, YLKI berharap dapat menjadi rumah bagi konsumen. YLKI memang tidak hadir untuk menutup segala bentuk hutang pinjol, tetapi harapannya YLKI mampu hadir menjadi tempat bagi konsumen untuk mengutarakan keluhan dan menumbuhkan harapan, ketika konsumen sudah kehilangan asa. Selanjutnya, YLKI juga dapat menjadi kawan dalam melawan kesewenang-wenangan pelaku usaha.
Ketiga; Perlindungan konsumen dan kebutuhan dasar. Payung hukum perlindungan konsumen memang telah ada, dalam bentuk UUPK. Tetapi secara substansi, UUPK lebih bersifat transaksional, belum mengupayakan akses pemenuhan kebutuhan dasar (basic need) bagi konsumen. Dengan kata lain, hanya kelompok yang melakukan aktivitas jual beli di cakup oleh UUPK, sedangkan kelompok masyarakat rentan yang pemenuhan hak dasarnya belum sepenuhnya tercukupi, luput dari bahasan UUPK. Secara hierarki pemenuhan kebutuhan dasar merupakan hak setiap orang untuk dapat melangsungkan hidup secara bermartabat. Peran perlindungan konsumen juga perlu memastikan bahwa konsumen dari kelompok strata paling bawah sekalipun, tetap harus terpenuhi kebutuhan dasarnya. Terpenuhi dalam arti memiliki akses untuk pemenuhan kebutuhan dasar, jaminan keterjangkauan dan jaminan keamanan dari berbagai hal yang dapat menggerus pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian persoalan perlindungan konsumen erat kaitannya dengan hak asasi manusia yang menjamin pilar hak ekosob (ekonomi, sosial budaya).
Dalam konteks perlindungan konsumen dan kebutuhan dasar, YLKI dapat berperan dalam upaya mendorong amandemen UUPK dengan memasukan basic need sebagai prioritas yang termaktub dalam regulasi. Dengan demikian dalam konsep pemenuhan kebutuhan dasar, UUPK dapat “memaksa’ negara untuk hadir dan memastikan kelompok rentan terpenuhi hak asazinya. Termasuk memiliki akses yang cukup atas sumber daya sehingga dapat tetap terpenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya.
Pada akhirnya, kehadiran YLKI yang telah memasuki usia 51 tahun nampaknya bukan sebuah akhir perjalanan. Tetapi menjadi tempat koreksi dan introspeksi dalam upaya membersamai konsumen dengan segala permasalahan yang tingkat kompleksitasnya makin beragam. Hal yang tak kalah penting, bagaimana YLKI membenahi diri dalam aspek pengembangan kelembagaan. Selain harus tetap berjibaku dalam memperbaiki konfigurasi sumber pendanaan, pengelolaan sumber daya manusia, YLKI juga harus tunduk pada ketentuan undang-undang yayasan. Selamat ulang tahun YLKI.
Agus Sujatno
Pengurus Harian YLKI
0 Comments on "Merekonstruksi Upaya Perlindungan Konsumen"