Secara normatif, hak-hak konsumen terakomodir di dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu hak yang terakomodir adalah hak atas informasi yang jelas dan jujur tentang kondisi dan jaminan barang yang akan dikonsumsi. Secara tersirat, ketentuan ini juga mengakomodir jaminan bagi konsumen untuk mengetahui apakah pangan yang akan dikonsumsi masuk dalam kategori ‘halal’ atau tidak. Asumsinya bahwa mayoritas konsumen di Indonesia adalah muslim, dengan begitu tuntutan untuk memenuhi hak informasi halal dari hari ke hari semakin tinggi.

Kendati tuntutan ini semakin tinggi, tak lantas demikian mudah terpenuhi. Alih-alih justru lembaga otoritas yang melakukan sertifikasi halal mulai dipertanyakan kredibilitasnya. Munculnya dugaan kasus ‘jual beli sertifikasi halal’ yang ramai menghiasi media beberapa bulan belakangan menjadi perseden negatif. Disinyalir, salah satu negara yang hendak memasukkan produk ke Indonesia harus mengeluarkan biaya sangat mahal untuk memperoleh sertifikasi halal, termasuk untuk mendatangkan auditor ke lokasi.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai otoritas sertifikasi halal, membantah keras munculnya berita yang menyudutkan. Mereka beranggapan ada kesalahan dan kelemahan dalam hal pengawasan sertifikasi. Namun, terlepas dari konteks tuduhan miring tersebut, otoritas MUI sebagai lembaga yang mengeluarkan sertifikasi halal memang layak dikritisi. Setidaknya ada tiga hal yang patut mendapat perhatian MUI untuk menutup peluang terjadinya isu tidak sedap merebak.

Pertama, aspek sandaran legal. Sejauh ini penunjukkan MUI sebagai lembaga otoritas yang mengeluarkan sertifikasi halal tidak pernah ada. Perlu dicatat bahwa MUI merupakan organisasi masyarakat dan bukan lembaga negara. Sementara di dalam UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, pada pasal 95 hanya menyebutkan bahwa lembaga penjaminan ‘halal’ dibentuk berdasarkan peraturan pemerintah.

Kendati dalam bentuk ormas dan tidak memiliki sandaran legal, tetapi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) selalu merujuk MUI dalam urusan sertifikasi produk halal. Ini dimungkinkan, sebab Indonesia belum memiliki lembaga negara yang secara khusus meberikan sertifikasi halal, sedangkan MUI telah mengambil inisiatif sertifikasi halal sejak puluhan tahun silam.

Celakanya, sertifikasi halal dari Indonesia (MUI) belum sepenuhnya diakui oleh negara lain dikarenakan negara menganggap MUI bukan lembaga sertifikasi negara. Artinya, produk-produk ekspor Indonesia banyak ditolak masuk ke beberapa negara, khususnya timur tengah, karena dianggap belum tersertifikasi halal oleh negara. Bandingkan dengan lembaga sertifikasi halal di Malaysia atau Thailand yang berada dalam struktur lembaga negara.

Demikian sebaliknya, beberapa produk impor yang sudah mengantongi ijin halal dari negara lain, seperti Malaysia atau Thailand misalnya, tetap harus melewati uji sertifikasi jika hendak masuk ke Indonesia. Salah satu alasan yang mengemuka, soal perbedaan tafsir antara ulama di masing-masing negara. Dengan begitu, produk impor harus mengeluarkan biaya tambahan untuk proses sertifikasi. Inilah yang memicu dugaan adanya praktik jual beli sertifikasi halal.

Harapan munculnya lembaga otoritas hampir menjadi kenyataan ketika pemerintah bersama dewan legislatif menggagas Rancangan Undang-undang Penjaminan Halal. Tetapi nampaknya, harapan ini juga jauh panggang dari api tatkala terjadi tarik menarik kepentingan antara Kementrian Agama dan MUI tentang lembaga sertifikasi halal.

Kedua, Lembaga sertifikasi harus memiliki auditor dan laboratorium yang kompeten serta terakreditasi. Saat ini – kecuali sertifikasi halal – sistem akreditasi dan standarisasi di Indonesia ada di bawah payung Badan Standarisasi Nasional (BSN), sedangkan lembaga sertifikasi dibawah payung Komite Akreditasi Nasional (KAN). Sistem yang terpadu oleh lembaga negara ini pula yang membuat Indonesia bisa membuat harmonisasi standar dengan sesama negara ASEAN. Idealnya sistem sertifikasi halal berada dalam kewenangan dua lembaga tersebut. Sementara MUI bertugas memfatwakan halal. Dengan demikian, produk lintas negara (impor atau ekspor) tidak berbeda tafsir; halal di negara A tidak diakui oleh negara B.

Berkaca dari Thailand, otoritas standar halal dilakukan oleh lembaga Food Safety and Standarization yang berada dibawah Kementrian Pertanian, yang selanjutnya difatwakan oleh Lembaga Urusan Agama Islam Thailand menjadi produk halal. Dengan demikian panduan sertifikasi produk dilakukan oleh otoritas lembaga negara, dan difatwakan oleh ulama. Dengan sistem ini, Thailand melejit sebagai negara pengekspor pangan halal terbesar ketiga dunia, mengalahkan Indonesia yang mayoritas muslim.

Ketiga, MUI tidak memiliki sistem pengawasan sertifikasi halal. Sebagai organisasi masyarakat, MUI tidak memiliki ‘tangan’ dalam mengawasi sertifikasi halal ini. Artinya, mekanisme kontrol post market tidak mampu dilakukan oleh MUI karena ketiadaan sumber daya. Kasus pemalsuan label halal, menjadi salah satu indikasi lemahnya pengawasan tersebut. Benar, bahwa dalam pasal 95 UU Pangan, ayat (1) menyebutkan pengawasan pangan halal dilakukan oleh Pemerintah Daerah dan Pemerintah Pusat. Tetapi ini belum dapat berlaku secara efektif.

Dengan semakin dekat era pasar bebas 2015, mendesak dibentuk lembaga negara atau memaksimalkan yang telah ada untuk mengurusi sertifikasi halal. Sedangkan MUI ditempatkan sesuai dengan fungsinya untuk menelorkan guideline halal serta menjadi lembaga yang “berfatwa”. Wacana ‘menyantolkan’ lembaga sertifikasi halal ke Kementrian Agama, dirasa juga kurang pas, mengingat lembaga ini tidak mengurus soal makanan.