Indonesia, seperti juga negara berkembang lainnya, saat ini mengalami beban ganda di bidang gizi. Selain masih harus menghadapi kasus-kasus gizi buruk, prevalensi angka kegemukan dan obesitas juga meningkat. Hal ini masih ditambah lagi dengan masalah stunting dengan prevalensi yang cukup tinggi serta penyakit tidak menular yang juga meningkat sangat cepat.
Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 menunjukkan hal ini. Prevalensi gizi kurang pada balita mencapai 19,6 persen, masih meningkat dibandingkan tahun 2007 (18,4 persen), dan balita pendek mencapai 37,2 persen. Sementara prevalensi berat badan lebih dan obesitas meningkat menjadi 26,3% dibandingkan 21,7% (2010).
Kecenderungan penyebab kematian di Indonesia bergeser dalam dekade terakhir. Kalau di tahun 1990-an penyebab kematian terutama adalah penyakit menular, tahun 2000-an kematian disebabkan penyakit tidak menular meningkat, bahkan pada 2010 mencapai 58 persen dibandingkan kematian akibat penyakit menular yang tinggal 33 persen.
Pergeseran pola penyakit juga terlihat dalam beberapa dekade ini. Di tahun 1990-an hanya stroke yang termasuk dalam 10 penyakit dengan beban terbesar. Namun di tahun 2010 stroke menduduki tempat pertama, dan penyakit jantung ada di posisi ke lima (sebelumnya di peringkat 13) serta diabetes di peringkat ke enam, naik dari posisi 16 di tahun 1990-an.
Empat dari lima besar penyebab kematian utama berdasarkan Sample Registration System 2014 adalah penyakit tidak menular. Stroke merupakan penyebab tertinggi, mencapai 21,1%, diikuti dengan penyakit jantung koroner 12,9 persen, diabetes melitus 6,7 persen, dan hipertensi 5,3 persen.
Data Riskesdas 2013 menunjukkan prevalensi hipertensi mencapai 25,8 persen; stroke 12,1 persen, meningkat dari 8,3 persen (2007). Demikian juga diabetes melitus sebesar 6,9 persen. Prevalensi jantung koroner pada usia di atas 15 tahun mungkin terlihat kecil, 1,5 persen. Akan tetapi penyakit ini menjadi penyebab kematian kedua di Indonesia, setelah stroke.
Data telah menunjukkan berbagai penyakit ini menjadi penyebab kematian utama, namun bagi penyandang penyakit tidak menular yang masih diberi kesempatan ternyata membutuhkan biaya yang tidak sedikit untuk memelihara dan mengelola hidupnya. Pada umumnya mereka harus menjalani pengobatan dan mengonsumsi obat-obatan seumur hidup.
Biaya kesehatan
Biaya kesehatan di Indonesia menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan sebesar 11,5 persen terjadi dari tahun 2011 sampai 2012. Pada tahun berikutnya, meningkat lagi sebesar 12,5 persen. Beban biaya kesehatan ini tersebar pada beberapa pihak, terutama masyarakat, mengingat selama ini layanan kesehatan menganut sistem fee for services, kecuali pada sebagian kecil masyarakat seperti pegawai negeri, anggota militer, dan pensiunan yang dilindungi oleh asuransi kesehatan.
Dengan diberlakukannya UU Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Indonesia menerapkan Jaminan Kesehatan menyeluruh. Secara bertahap, setiap warga negara Indonesia harus menjadi peserta BPJS Kesehatan dan berhak mendapatkan jaminan kesehatan. Sistem ini memberi ruang kesempatan bagi mereka yang selama ini tidak mampu atau tidak berani mengakses layanan kesehatan.
Data BPJS Kesehatan menunjukkan sepanjang tahun 2014 berhasil menggaet 133 juta peserta. Namun baru 6 persen merupakan peserta mandiri. Selebihnya adalah peserta menerima bantuan iuran dari pemerintah dan pemerintah daerah serta peserta ASKES, ASABRI dan sejenisnya yang secara otomatis bermigrasi menjadi peserta BPJS Kesehatan.
Sayangnya, premi yang berhasil dikumpulkan ternyata masih belum memadai. Masih di tahun yang sama, klaim yang harus dibayarkan BPJS Kesehatan Rp 42,6 triliun, masih lebih besar Rp 1,6 triliun dari premi yang terkumpul.
Banyaknya kasus-kasus penyakit dengan biaya tinggi diduga menjadi penyebab tingginya klaim yang harus dibayarkan. Penyakit-penyakit yang tergolong penyakit tidak menular membutuhkan biaya yang tinggi. Seperti operasi jantung, cuci darah yang harus dilakukan secara teratur, atau hipertensi yang harus mengonsumsi obat seumur hidup, semua layanan itu dapat diperoleh oleh peserta BPJS.
Data yang dilansir Kementerian Kesehatan menunjukkan beban biaya penyakit yang tergolong penyakit katastropik: jantung, stroke, diabetes, ginjal, kanker, talasemia dan hemofili, yang cukup tinggi. Lima penyakit yang disebutkan pertama sangat erat kaitannya dengan gaya hidup dan pola konsumsi yang salah, khususnya untuk penyakit jantung, stroke dan diabetes.
Disebutkan bahwa 1.029.717 kasus rawat jalan menghabiskan biaya sebesar Rp. 1.034 milyar. Jika dibandingkan dengan jumlah kasus dan biaya semua penyakit, terlihat betapa jenis penyakit ini menghabiskan biaya yang besar. Dalam hitungan kasus hanya 8 persen, tetapi menghabiskan biaya sampai 30 persen.
Demikian pula untuk rawat inap. Meskipun data hanya berasal dari BPJS, menunjukkan penyakit jantung, stroke dan diabetes saja, menguras hampir seperempat (23,1 persen) jumlah biaya seluruh penyakit. Jika ditambahkan biaya penyakit ginjal dan kanker mencapai 31,5 persen. Dapat dibayangkan besarnya beban kesehatan apabila prevalensi penyakit ini terus meningkat setiap tahunnya.
Berbagai penyakit tidak menular ini sebenarnya dapat dikelola dan dicegah. Apabila upaya promotif dan preventif tidak dilakukan, diantaranya dengan memperbaiki gaya hidup dan pola konsumsi pangan, dikhawatirkan beban kesehatan yang harus ditanggung akan semakin besar.
Pola konsumsi
Benarkah pola konsumsi pangan saat ini berpotensi meningkatkan prevalensi penyakit tidak menular? Buruknya pola konsumsi ditunjukkan oleh data Riskesdas 2013 dimana 93,5 persen penduduk di atas 10 tahun kurang mengonsumsi sayuran dan buah. Angka ini hanya sedikit menurun dibandingkan dengan tahun 2007 sebesar 93,6 persen. Konsumsi buah dan sayuran yang dianjurkan adalah 400-600 gram per orang per hari. Namun data dari Studi Diet Total yang dilakukan Litbang Kementerian Kesehatan menunjukkan konsumsi sayuran rata-rata hanya 57,1 gram per orang per hari dan konsumsi buah hanya 33,5 gram per orang per hari.
Yang cukup memprihatinkan adalah mi tampaknya sudah menjadi makanan pokok bagi sebagian masyarakat Indonesia, bahkan anak-anak. Konsumsi mi lebih dari 1 kali seminggu pada anak usia 10-14 tahun mencapai 90,5 persen. Dan 51 persennya mengonsumsi lebih dari 3 kali seminggu. Padahal pola dalam mengonsumsi mi sangat berpotensi tidak memenuhi kebutuhan gizi yang baik.
Masih dari sumber data yang sama, penduduk di atas 10 tahun mengonsumsi makanan berisiko cukup tinggi: 53 persen mengonsumsi makanan manis, 41 persen makanan berlemak, 26 persen makanan asin, serta 77 persen mengonsumsi bumbu penyedap dan 29 persen kopi. Dari informasi ini, lengkap sudah berbagai faktor pemicu penyakit tidak menular pada bangsa Indonesia.
Survei yang pernah dilakukan YLKI pada tahun 2012 menunjukkan kecenderungan pola konsumsi yang serupa. Responden merupakan 609 orang tua murid SD dan TK. Hampir 50 persen responden mengonsumsi makanan kemasan siap saji atau makanan instan 2-3 kali dalam seminggu. Makanan instan yang paling banyak dikonsumsi adalah mi instan dan diikuti oleh nugget dan sosis.
Membawa bekal ke sekolah dianjurkan untuk menghindari jajan atau membeli makanan atau minuman yang tidak dapat dipastikan keamanan dan kesehatannya. Dari 84% yang mengaku menyiapkan bekal, 58% membawa setiap hari dan dalam jumlah yang sama membawa bekal 2-3 kali seminggu atau kadang-kadang (sesuai permintaan anak). Menarik melihat bekal yang dibawa. Yang terbanyak adalah nugget dan sosis (25%), diikuti dengan makanan ringan dan biskuit. Mi juga menjadi pilihan bekal bagi 11% responden, dan hanya sebagian kecil (4%) yang membawa bekal nasi dan lauk pauknya.
Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan batasan konsumsi gula, garam dan lemak per orang per hari (Permenkes No. 30 tahun 2013), yaitu gula maksimum 50 gram, natrium 2000 mg (setara 5 gram), dan lemak 67 gram. Untuk mudahnya, 50 gram gula setara dengan 4 sendok makan, 2000 mg natrium sama dengan 1 sendok teh garam, dan 67 gram lemak sama dengan 5 sendok makan.
Meskipun Kementerian Kesehatan telah mengeluarkan anjuran maksimum konsumsi gula, garam dan lemak, Badan Kesehatan Dunia (WHO) masih menganjurkan pengurangan konsumsi gula dari 10% total kalori menjadi 5% yang setara dengan 25 gram per hari. Demikian juga untuk konsumsi garam. WHO menargetkan penurunan konsumsi garam global sekitar 30% pada tahun 2025. Studi Diet Total yang dilakukan oleh Litbang Kementerian Kesehatan 2014 menunjukkan 26,5 persen penduduk mengonsumsi lemak berlebih, 18,3 persen mengonsumsi garam berlebih dan 4,8 persen mengonsumsi gula melebihi anjuran.
Bagaimana sebaiknya pola konsumsi pangan kita? Melalui Permenkes No. 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang, Kementerian Kesehatan memberikan panduan bagi masyarakat bagaimana seharusnya pola konsumsi pangan sehari-sehari. Kalau dulu kita kenal empat sehat lima sempurna, sekarang dikenal tumpeng gizi seimbang.
Untuk sederhananya dapat digunakan skema “piring makanku”. Pastikan jumlah sayur dan buah yang dikonsumsi sama dengan jumlah makanan pokok (sumber karbohidrat seperti nasi, umbi-umbian dan lainnya) dan lauk pauk yang merupakan sumber protein (seperti ikan, daging, telur, dan lainnya). Hal lain yang perlu diperhatikan adalah keragaman sumber-sumber pangan ini.
Yang Dapat Dilakukan
Meningkatnya obesitas dan penyakit tidak menular erat dikaitkan dengan peningkatan konsumsi pangan olahan yang seringkali tinggi lemak, garam dan gula. Makin banyaknya jenis pangan olahan yang diproduksi dan tersedia, perubahan gaya hidup, dan harga pangan olahan yang makin terjangkau bahkan seringkali lebih murah dari pangan yang lebih sehat menyebabkan terjadinya pergeseran pola konsumsi ini. Selain konsumsi pangan olahan, konsumen juga cenderung makan makanan yang diolah di luar rumah, seperti jajanan, warung, dan restoran.
Untuk bisa hidup sehat sebenarnya tidak sulit, yang terpenting kenali sumber-sumber pangan untuk memenuhi kebutuhan gizi tubuh kita dan pastikan tercukupi. Misalnya makanan pokok yang merupakan sumber karbohidrat dapat berupa nasi, kentang, atau umbi-umbian lain. Lauk pauk sumber protein harus beragam. Pilihan juga banyak, ada daging, ayam, berbagai jenis ikan, tahu, tempe dan lainnya. Nah, yang tidak boleh ditinggalkan adalah sayuran untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral. Jumlahnya sebaiknya sama dengan jumlah nasi dan lauk.
Setiap hari, upayakan sarapan pagi yang lengkap. Sarapan ini penting untuk mengawali kegiatan. Dengan sarapan yang baik, akan mencegah kita dari mencari-cari camilan yang biasanya cenderung tidak sehat karena mengandung garam dan lemak yang tinggi seperti gorengan misalnya.
Selain itu, berapa sering kita minum minuman kemasan atau minuman manis saat berada di luar rumah? Oleh karena itu, hindari menambahkan gula saat di rumah karena kemungkinan besar asupan gula yang dikonsumsi dari makanan dan minuman hari ini sudah lebih dari cukup.
Pola konsumsi pangan yang baik sebaiknya dimulai dari kecil. Mengubah pola yang sudah bertahun-tahun dilakukan cenderung akan sulit. Kementerian Kesehatan mengampanyekan langkah CERDIK untuk mencegah Penyakit Tidak Menular. Langkah ini seharusnya tidak sulit dilakukan: Cek kesehatan secara berkala; Enyahkan asap rokok; Rajin beraktivitas fisik; Diet yang baik dan seimbang; Istirahat yang cukup; dan Kelola stress.
Huzna G. Zahir Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
0 Comments on "Pola Konsumsi dan Biaya Kesehatan"